Oleh : Wamdi Jihadi
Salah satu perang fenomenal yang terjadi dalam sejarah kenabian adalah perang Ahzab, dinamai Ahzab karena memang pasukan musuh terdiri dari beberapa kelompok suku. Dan sering juga disebut dengan istilah perang Khandaq, perang dengan strategi yang digunakan oleh rasulullah dan sahabat kala itu dengan menggali parit yang panjangnya 5544 m, lebar 4,6 m, dengan kedalamannya 3,2 m di sebelah Utara kota Madinah.
Dengan target penggalian seperti itu para sahabat yang hanya berjumlah 700 orang berjuang keras, ditambah lagi dengan ketidakjelasan kapan musuh akan tiba, yang pasti parit harus diselesaikan secepat mungkin. Dan tantangan lainnya, pada waktu itu bertepatan dengan musim dingin, dan juga terjadi gagal panen kurma masyarakat Madinah.
Pada kondisi seperti itu ada sahabat yang bertanya kepada rasulullah tentang kota mana yang akan mereka takhlukkan terlebih dahulu, Roma atau Konstantinopel. Mendapati pertanyaan seperti itu rasul bukannya meminta sahabat untuk berfokus pada perang yang sedang berlangsung atau musuh yang sudah di depan mata, justeru beliau menyampaikan, “Kalian akan menakhlukkan Konstantinopel, penakhlukan itu di tangan panglima dan pasukan terbaik.”
Ucapan sang nabi tersebut melalui beberapa pemerintahan setelahnya; khulafaur Rasyidin, bani Umayyah, bani Abbasyiah, dan baru pada kesultanan Utsmaniyah terealisir, pada 20 Jumadil Awwal 857 Hijriyah bertepatan 29 Mei 1453 Masehi. Butuh waktu delapan abad lebih untuk mewujudkan sebuah harapan tersebut.
Waktu yang panjang adalah salah satu tabiat dari cita-cita yang besar. Seperti halnya pohon yang besar, ia melewati puluhan tahun untuk memiliki kekokohan akar, kekekaran batang dan kerindangan daun. Delapan ratus lima puluh dua tahun bukanlah waktu yang sebentar, sudah sekian kali kelahiran dan kematian generasi silih berganti. Ia tidak lagi menjadi harapan individu, atau bahkan sekelompok orang di satu masa kehidupan, namun ia obsesi peradaban yang diwariskan berketurunan.
Sisi lainnya, sebuah harapan besar menuntut pengorbanan yang besar. Penakhlukan Konstantinopel di tahun 857 Hijriyah hanyalah buah dari strategi berulang di sepanjang sejarah pemerintahan Islam sebelumnya, bahkan salah seorang sahabat yang bernama Abu Ayyub al-Ansori di kubur di sisi benteng Konstantinopel ketika syahid dan gagal dalam penakhlukan di tahun-tahun sebelumnya. Karena itu kuburlah cita-cita besar kita ketika kita hanya ingin menebusnya dengan sedikit pengorbanan, padahal pengorbanan itu adalah mahar dalam menggapai impian.
Dan yang tak kalah pentingnya, sebuah harapan besar hanya akan terealisir di tangan orang-orang besar. Di tangan seorang pemuda bernama Muhammad al-Fatih – yang hafal 30 juz al-Quran, menghafal banyak hadits, menguasai enam bahasa dunia; Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin, Yunani, menguasai berbagai ilmu terapan, , tidak pernah tinggal shalat malam, selalu menjadi imam shalat berjamaah, dan menguasai strategi perang – Konstantinopel akhirnya bertekuk lutut.
Orang-orang besar dalam sejarah kemanusiaan bukanlah orang-orang yang jatuh dari langit, mereka seperti kita yang terlahir di bumi, memakan apa yang tumbuh dan tersedia di bumi. Namun ternyata manusia bukan dibedakan oleh apa yang dimakannya, namun oleh apa yang dilakukannya.
Wamdi Jihadi, Penulis Buku Menuju Jalan Terang