Misi Menjaga Fitrah

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Tak terasa bulan suci dan penuh limpahan keberkahan telah berlalu. Tinggalkan sejuta kenangan. Kini memasuki hari nan fitri, rasa sedih dan senang campur aduk jadi satu. Sedih Ramadhan pergi, senang Syawal hadir mengganjar kemenangan bagi yang sukses menempuh bulan perjuangan. Sesudah sebulan lamanya mengendalikan diri dan hawa nafsu lewat berpuasa dan ibadah lain. Baik secara vertikal dengan Allah SWT dan horizontal berbuat baik ke sesama. Status fitrah jelas paling diincar. Bagaikan terlahir kembali, suci. Oleh karena itu, fitrah adalah prediket istimewa. Akan tetapi hanya yang bersungguh-sungguh dan berkomitmen bisa meraihnya. Ramadhan pada dasarnya pelatihan mengendalikan diri dan sarana menempa jiwa. Harapannya, paska Ramadhan kita mampu mengendalikan hal paling potensial sekaligus ancaman dalam diri yakni hawa nafsu. Dikatakan potensial sebab hawa nafsu bisa menggiring manusia berkompetisi dalam konteks positif. Namun di sisi lain ketika menghamba nafsu akan menjerumuskan manusia ke jurang kenistaan.

Ramadhan bukan akhir. Justru permulaan yang baik untuk melanjutkan spirit beribadah yang sudah terbentuk ke bulan berikutnya. Ibarat pisau diasah, setelah tajam bakal lebih produktif. Sungguh kerugian teramat besar ketika Ramadhan berlalu tanpa meninggalkan bekas. Adapun Syawal seumpama mereset ke “setelan pabrik”, menuju hakikat penciptaan sebagaimana firman Allah SWT “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku,” (Az Zariyat: 56). Karena pada dasarnya manusia sejak dilahirkan ke dunia sudah tertanam sesuatu yang membuat dia dekat dan tahu siapa Penciptanya. Itulah kenapa umumnya sedari bayi hingga usia kanak-kanak dicap polos, jujur ketika berkata dan belum terpengaruh hal buruk. Beranjak dewasa fitrah itu masih melekat. Walau kadang sudah tertutupi akibat dosa. Contoh muncul rasa bahagia kala berbuat kebaikan walau itu berupa senyum atau mengucapkan salam ke orang lain. Di sisi lain ada rasa bersalah sewaktu berbuat buruk atau melakukan penyimpangan.

Menjaga Fitrah

Menjaga fitrah adalah misi ajaran Islam. Meski kita tempatnya teledor dan salah namun bukan berarti membiarkan diri larut dalam kubangan kesalahan dan dosa. “Bertakwalah kepada Allah SWT dimana saja kamu berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskan keburukan. Dan pergauilah manusia dengan akhlak mulia” (HR. At-Tirmidzi). Fitrah pula faktor kunci dalam beramar makruf dan nahi mungkar. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah“. (Al-Imran :110). Dalam konteks amar ma’ruf, mereka yang puasanya berhasil akan terbentuk karakter khaira ummah atau umat terbaik. Membawa energi dan pengaruh positif ke lingkungan sekitar, memiliki kepekaan sosial dan bersemangat berbuat kemaslahatan. Terlebih selama Ramadhan kita sudah dikondisikan dengan atmosfir yang memotivasi semangat bersedekah dan berbagi. Bulan puasa mengubah mindset kita dari semula konsumerisme menjadi altruisme. Sebuah sifat yang sangat disukai Allah SWT, sebagaimana hadist: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Ia mencintai kedermawanan serta akhlak mulia, Ia membenci akhlak buruk.” (HR. Al Baihaqi). Spirit berbagi pulahan kunci kejayaan negeri ini. Sejarah mencatat sumbangsih raja-raja dan rakyat nusantara “bersedekah” nyawa, pikiran dan harta untuk perjuangan bangsa. Salah satunya, selaku orang Riau, patut kita banggakan kontribusi Sultan Syarif Kasim II yang mengirim bantuan kepada Indonesia yang baru saja merdeka.

Disamping amar ma’ruf, pembuktian fitrah juga sejauhmana tekad mencegah perbuatan yang bertentangan dengan syariat dan norma (nahi mungkar). Berbahagialah tatkala melihat penyimpangan terbersit rasa tak nyaman. Namun Islam menghendaki dan mendorong umatnya berbuat lebih progresif lagi. Bagaimana mempersempit ruang gerak tindakan yang menyalahi fitrah sesuai kapasitas dan kemampuan dimiliki. Sebagaimana sabda Rasul “Siapa yang melihat kemungkaran diantara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim). Amar makruf dan nahi mungkar hanya bisa dicapai jika kita mampu mengendalikan ego dan hawa nafsu. Kita tahu ini bukan perkara mudah meski bagi orang saleh sekalipun. Tantangannya bukan hanya bisikan dalam diri, tapi juga lingkungan. Pasti ada saja yang berupaya menghambat, mengejek, mencaci bahkan tak segan-segan menggunakan pendekatan fisik. Apalagi di zaman sekarang. Sosok yang amanah dan berbuat benar dipojokkan. Sementara yang khianat, pembohong dan zalim dipuja-puja. Menentang kemungkaran, kezaliman dan ketidakadilan dimusuhi. Praktik ketidakadilan merajalela. Penegakkan hukum timpang, lembek ke kelompok tertentu, kalangan berharta dan berkuasa tapi tegas ke pihak lain dan kaum tak berdaya.

Fenomena di atas pertanda buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi perkara sebenarnya bukan pada merajalelanya kezaliman, kemungkaran dan penyimpangan. Perbuatan tersebut sudah ada sejak dulu dan akan selalu eksis kapanpun. Pertanyaannya sekarang apa peran kita? Karena keadaan tak akan berubah begitu saja. Tak cukup modal do’a. Harus ada keinginan, tekad dan usaha.“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (Ar-Ra’d: 11). Rasa gusar melihat penyimpangan itu bagus. Tapi memilih diam atau membiarkan tanpa disertai tindakan meluruskan justru hanya akan melestarikan perbuatan buruk. Lambat laun akan dianggap biasa dan kezaliman makin mencengkram. Akhirnya semua terkena imbas, termasuk orang-orang baik. Rasullullah sudah mewanti-wanti manakala penyimpangan, kezaliman dan kejahatan sudah mengakar tapi tak disertai sikap konkrit untuk menyikapinya, maka Allah SWT akan mencabut rahmatnya. “Hendaklah kamu beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan benahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka)” (HR. Abu Dzar). Sebagai penutup, bukan perbedaan hari raya yang perlu diratapi. Khawatirlah apabila setelah Ramadhan tak meninggalkan bekas dalam diri.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Menjadi Figur Ayah Serupa Luqman, Mampukah Kita?

Pekanbaru – Sebagai ayah kita memang bukan Luqman al-Hakim, tetapi sekadar membuat anak kita tertawa …