Menjadi Figur Ayah Serupa Luqman, Mampukah Kita?

Foto : unplas.com

PekanbaruSebagai ayah kita memang bukan Luqman al-Hakim, tetapi sekadar membuat anak kita tertawa dan merindukan itu, semua itu bisa.

Kisah Luqman al-Hakim dalam Al-Qur’an menjadi pelajaran bagi semua ummat manusia tentang bagaimana interaksi terbaik antara seorang ayah dan anak. Dalam sebuah riwayat disebutkan kisah ketika Luqman dan anaknya berjalan menuju ke pasar. Saat itu Luqman naik di atas keledai sedangkan anaknya berjalan mengikutinya di belakang. Lalu orang-orang yang menyaksikannya berkata, ‘lihatlah Luqman yang bersikap tidak adil kepada anaknya,’.

Mendengar itu Luqman pun turun dari keledai dan memosisikan anaknya yang berada di atas keledai sedang ia berjalan. Setelah itu, orang-orang berkata, ‘lihatlah anak Luqman itu sangat zalim kepada ayahnya.’ Mendengar perkataan itu, Luqman pun naik keledai bersama anaknya. Orang-orang yang melihatnya pun berkata, ‘lihatlah mereka membuat keledai itu tersiksa dengan dua orang mengendarainya.’ Selepas itu, Luqman dan anaknya pun turun. Mereka berjalan keduanya dan keledainya mengikuti dari belakang. Menyaksikan hal tersebut orang-orang berkata, ‘lihatlah itu mereka orang yang bodoh tidak memanfaatkan keledai yang ada.’

Selepas peristiwa itu, Luqman pun memberikan nasihat bijak kepada anaknya,”anakku, demikianlah manusia yang seringkali tidak bisa lepas dari ucapannya. Sesungguhnya pertimbangan baik dan buruknya sesuatu itu bersandar kepada Allah swt.”

Interaksi, Pengalaman, dan Nasihat

Apa yang dilakukan Luqman pada anaknya adalah proses interaksi, pengalaman, dan nasihat. Tiga rangkaian pembelajaran seorang ayah kepada anaknya dalam konteks peran ayah memberikan pendidikan pada anaknya.

Memberikan nasihat saja tanpa adanya interaksi atau pengalaman, jelas tak akan bisa masuk dengan mudah. Hal yang terjadi justru perlawanan dari sang anak, menolak, bahkan membenci. Interaksi dan pengalaman saja tanpa adanya nasihat, maka anak akan sulit mengambil pelajaran dari keduanya. Tidak tersurat pesan kebaikan yang semestinya diketahui anak. Maka proses ketiganya yang sudah dicontohkan oleh Luqman adalah proses ideal interaksi efektif antara seorang ayah dan anak.

Almarhum Harry Santosa dalam bukunya Fitrah Based Education menyebutkan, pendidikan anak merupakan tanggung jawab seorang ayah. Maka seorang ayah harus memiliki cara terbaik untuk menjalankan tugas tersebut. Anak yang cenderung lebih tunduk, takut, dan hormat kepada seorang ayah ketimbang ibu, perlu dibangun kedekatannya dengan cara yang lebih humanis sehingga terbangun hubungan yang mengedukasi tetapi tetap harmoni.

Cara Ayah dalam Mendidik dan Membimbing

Kisah menarik lainnya cerita dari anak sulung tokoh pergerakan Mesir Hasan al-Banna, tentang bagaimana perlakuan ayahnya terhadap dirinya.

“Ayahku memberiku uang untuk kebutuhan membeli buku dan bersedekah. Jika aku bersalah, ayahku memukulku dengan sebatang lidi. Aku hanya tertawa ketika ayahku melakukannya.”

Hasan Al-Banna merupakan tokoh muda yang pergerakannya diakui dunia hingga saat ini. Keberhasilannya memimpin pergerakan pemuda pada saat itu ternyata juga sejalan dengan kesuksesannya mendidik anak di rumah. Ia menunaikan tanggungjawabnya memberi nafkah kepada anak-anaknya dan dengan nafkah itu pula ia mendorong anaknya untuk berbuat baik melalui sedekah. Jadi bukan sekadar lepas memberi nafkah begitu saja, ia memberi nasihat  bagaimana menggunakan nafkah tersebut untuk kebaikan.

Lalu dalam konteks mendidik, seorang ayah perlu menunjukkan komitmennya agar anak jera dengan kesalahannya tanpa harus menyakiti anak. Bahwa seorang Hasan al-Banna memukul anaknya dengan sebatang lidi, itulah bentuk komitmen dirinya sebagai ayah untuk tegas dengan aturan. Jika anaknya bersalah maka tetap ada konsekuensi hukuman yang dijalankan, tetapi hukuman itu bukanlah sesuatu yang menyakiti sang anak.

Menjadi Ayah yang Dirindukan

Anak-anak hari ini merindukan profil ayah serupa Luqman al-Hakim. Ayah yang menjadi inspirasi bagi kehidupan anaknya. Mungkin harapan itu terlalu ideal, sebab faktanya hari ini sebatas tanggungjawab pun masih sering dilalaikan orang. Memberi nafkah bukanlah kebaikan maksimal seorang ayah, tetapi ada kebutuhan yang lebih dinantikan anak-anak dan keluarga di rumah, yakni sentuhan cinta dan kasih sayang.

Hari ayah 12 November akan selalu berulang, tetapi bisakah kita untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan sebagai seorang ayah di mata anaknya? Saatnya menjadi ayah sehebat Luqman, sebuah harapan yang semoga kita berproses menuju ke sana.

(Penulis: Nafi’ah al-Ma’rab/ Pengarang, Ketua Deputi Kajian PAK RKI Riau)

Baca Juga

Ramadhan Bulan Produktif

Pekanbaru – Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebuah anugerah luar biasa bagi umat …