Iqra’ Gerbang Ilmu dan Kebenaran

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Ramadhan tak hanya membawa atmosfir kebaikan dan keberkahan. Namun juga rahmat berupa diturunkannya Alquran. Peristiwa agung tersebut dalam tradisi masyarakat muslim diperingati dengan nama Nuzululqur’an. Terlepas silang pendapat dan versi kapan waktunya, esensi Nuzululqur’an jauh lebih penting untuk diulas. Sama halnya dengan Ramadhan, kehadiran Alqur’an bukan sebatas kitab suci dan pedoman bagi umat muslim. Tetapi juga membuka ruang untuk dikaji dan diambil manfaatnya oleh kalangan luar Islam. Sejarah mencatat sudah banyak pihak coba mencari kekurangan dan kelemahan Alqur’an. Pada akhirnya malah berbalik menyanjung, membela dan mengikuti ajaran Islam. Kekuatan bukan semata pada keindahan tutur kata. Mulai sejarah hingga kisah-kisah yang mendasari turunnya ayat Alqur’an turut menginspirasi dan membuka cakrawala berpikir. Sehingga makin dipelajari makin haus dan membuat kita sadar akan hakikat diri dan hidup. Dikatakan mukjizat sebab diturunkannya Alquran sungguh menakjubkan. Jika masa dahulu Tuhan mengutus Nabi disertai dengan kemampuan di luar nalar, maka tidak demikian Nabi Muhammad SAW. Sebab umat manusia mencapai tingkat kematangan memahami dengan akal dan pemikiran tanpa membutuhkan sesuatu yang magis. Berikut diturunkannya Alquran secara bertahap, sedikit demi sedikit dan berangsur-angsur dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari juga memberitahu sesuatu. Bahwa dalam kehidupan semua butuh proses. Metode ini berlaku di semua lini.

Pemaparan di atas memperkuat posisi Alquran sebagai mukjizat. Semakin menarik mengulas mengapa Allah SWT memilih Ramadhan bulan diturunkannya Alquran? Barangkali keduanya punya kesamaan. Sama halnya setelah mendalami Alqur’an, melalui puasa kita makin menyadari unsur kemanusiaan, lebih paham akan kehidupan dan pentingnya mendidiknya jiwa. Hal ini pula menguatkan pentingnya puasa. Supaya manusia sadar dan tahu bahwa dia punya kelemahan dan batas kekuatan alias makhluk lemah. Jadi jangan merasa jumawa sebanyak apapun pendukung, setinggi apapun jabatan dan sehebat apapun kekuasaan. Itulah kenapa separoh muatan Alquran mengulas tentang sejarah, baik itu kehidupan penguasa dan umat masa lalu, teknologi dan peradaban yang mereka punya dan penyimpangan yang dilakukan. Dengan begitu kita bisa ambil pelajaran dan tak mengulangi kesalahan dan kemungkaran yang pernah mereka lakukan. Ironisnya, bukannya ambil pelajaran setiap zaman justru pengulangan. Sampai sekarang dan didapati di negeri kita. Simak saja maraknya pemberitaan dimana orang berada dan berkuasa berhadapan dengan hukum mendapat perlakuan berbeda dibanding orang lemah. Begitujuga sekelompok manusia yang memusuhi kebenaran dan memuja kezaliman. Padahal semua sudah disinggung secara gamblang dalam Alquran. “Dan sungguh telah kami mudahkah Alqur’an untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi semua manusia, maka adakah di antara mereka yang mau mengambil pelajaran…” (Al Qamar; 17).

Iqra’

Seperti yang kita ketahui, al-Alaq menjadi wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW diperantarai malaikat Jibril. Kita juga sudah khattam ayat pertama yang dilafalkan adalah surah al-Alaq yang berisi perintah membaca (Iqra’). Munculnya perintah Iqra’ begitu menyentak. Terlebih kala itu masyarakat jazirah Arab pada umumnya buta huruf. Bahkan jauh dari peradaban atau singkatnya disebut zaman jahiliyah. Disebut jahiliyah bukan saja didasarkan atas kebiasaan dan tatanan masyarakat nan jauh dari standar beradab. Akan tetapi di masa itu tak semua bisa membicarakan nilai-nilai kebenaran. Tidak hanya terjadi di daratan Arab namun fenomena di berbagai belahan dunia. Di Eropa misalnya, kebenaran mutlak domainnya gereja berkolaborasi dengan kaisar atau raja. Setiap orang terutama kalangan awam sangat berhati-hati membaca sesuatu. Salah sedikit nyawanya bisa melayang. Bagi seorang penemu apabila temuannya bertentangan atau tak sejalan maka siap-siap tanggung resiko. Turunnya Alqur’an merubah segalanya. Kebenaran tersaji dan dapat dikaji oleh siapa saja. Alqur’an merubah dominasi ilmu dan kebenaran, dari semula dimiliki kelompok masyarakat tertentu. Semua dikarenakan satu ayat yakni Iqra’. Satu kata tapi punya dorongan luar biasa. Merangsang setiap insan untuk mencari jalan kebenaran. Memang dalam penafsiran ada perbedaan yang menyatakan bahwa Iqra’ tak disebutkan objek bacaan. Lantas apa makna perintah membaca? Dan apa yang diperintahkan untuk dibaca?

Mengacu ke ayat 1 surah al-Alaq sudah jelas bahwa “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan.” Kendati demikian, lafaz iqra’ berasal dari kata qara’a dan mengandung kata perintah yang secara umum berarti bacalah. Kata qara’a pada mulanya berarti menghimpun. Bila ditelaah lebih jauh, aktivitas membaca pada hakikatnya adalah menghimpun. Sebagaimana kita membaca suatu kata sebenarnya menghimpun dan menggabungkan dari beberapa huruf. Penafsiran lain, membaca juga tak harus sesuatu yang tertulis dalam bentuk aksara. Memperhatikan alam raya sejatinya tengah membaca alam raya. Sejarah kemajuan dan peradaban Islam di masa lalu buah nyata dari membaca. Bagi seorang pemimpin bila ingin membentuk kebijakan, maka bacalah situasi dan kondisi sosial masyarakatnya. Jangan membebani apalagi sampai menzalimi. Karena Alqur’an telah bercerita setiap kezaliman akan kembali ke pembuatnya. Disinilah Alqur’an berfungsi memberi petunjuk dan pembeda antara yang hak dan bathil.” (QS al-Baqarah: 185). Makanya, disamping sejarah, Alquran banyak mengulas aspek pribadi seorang muslim dan manusia, jalinan muamalah atau hubungan antar manusia dengan sesamanya; pemimpin dan rakyatnya. Bahkan ketika Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang sahabat, apa yang harus kita kerjakan dalam hidup? Beliau menjawab Muamalah atau hubungan antarmanusia. Mengapa hubungan antar manusia menjadi prioritas Nabi, karena hakikatnya hubungan antar manusia adalah kunci utama.

Kembali ke Iqra’, inilah yang memisahkan antara era kegelapan dan kebodohan (jahiliyah) dengan era cahaya kebenaran dan pengetahuan. Periode jahiliyah menjadi latar belakang lahirnya Islam. Kalau ada orang yang berkata ajaran Islam membawa surut ke belakang, dapat dipastikan wawasan sejarahnya nol besar. Justru sebaliknya hadisnya Iqra’ menjadi starting point ajaran Islam serta bangkitnya peradaban dan ilmu pengetahuan. Melahirkan apa yang disebut oleh banyak sejarawan dunia Periode Ketiga yakni bersandingnya agama dan ilmu pengetahuan. Figur Nabi Muhammad SAW menjadi faktor sentral dalam periode ini. Petunjuk yang beliau dapatkan adalah perpaduan antara ilmu pengetahuan dan agama, yang diwakili dari kalimat Iqra’ bi ismi rabbik! (Bacalah dengan membaca nama Tuhanmu). Iqra’ selaku simbol ilmu dan bi ismi rabbik sebagai agama. Iqra’ tanpa bi ismi rabbik atau bi ismi rabbik tanpa Iqra’ terbukti tidak mengangkat martabat manusia dan peradaban ke arah lebih baik.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Menjadi Figur Ayah Serupa Luqman, Mampukah Kita?

Pekanbaru – Sebagai ayah kita memang bukan Luqman al-Hakim, tetapi sekadar membuat anak kita tertawa …