Modal Sosial Kebangkitan Nasional

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM.

Pekanbaru – Hari Kebangkitan Nasional (HKN) yang diperingati setiap tanggal 20 Mei punya banyak makna dan menyajikan kesempatan berharga untuk mengenali warisan perjuangan bangsa. Bukan semata mengingat kembali sejarah. Tapi bagaimana mengambil intisarinya untuk kemudian diambil pelajaran. Bak pepatah Melayu: Yang baik jadikan teladan, kalau buruk jadikan sempadan. Baik atau buruk tragedi di masa lalu pada dasarnya sama-sama punya arti bagi kehidupan bangsa kini dan masa mendatang. Dengan mengetahui hal buruk, kita dapat menghindar agar tak terjerumus di lubang yang sama. Terlebih lagi mengetahui hal yang baik tentu manfaatnya lebih besar lagi. Kesempatan HKN saat tepat untuk mengenali unsur utama yang menghantarkan bangsa kita ke gerbang kemerdekaan. Mengulas sekilas sejarah HKN, mengacu ke buku sejarah yang kita pelajari di bangku sekolah, identik dengan berdirinya Boedi Oetomo (Budi Utomo) yakni 20 Mei 1908. Organisasi ini disimbolkan sebagai titik tumbuhnya rasa kesadaran sebagai “orang Indonesia”. Berangkat dari kenyataan di masa itu, dimana yang bisa mengenyam pendidikan hanya kalangan penjajah dan etnis tertentu. Pribumi diperlakukan diskriminatif. Lalu lahir Politik Etis yang membuka peluang bagi penduduk asli Indonesia untuk memperoleh kesempatan pendidikan.

Memang penerapan Politik Etis di bidang pendidikan kala itu belum berpihak sepenuhnya ke kalangan akar rumput. Mengingat hanya bisa diakses oleh anak elit pribumi. Tujuan pendidikan pun untuk menyediakan tenaga kerja bagi birokrasi kolonial. Tapi perlahan elit pribumi yang terdidik mulai menyebarkan ide kebebasan dan kemerdekaan. Walau tak terlalu revolusioner, namun mereka ikut andil membangkitkan sikap anti-kolonialisme. Namun menggali sumber lain, kita juga mendapati bahwa Budi Utomo bukan satu-satunya gerakan yang patut diberi apresiasi atas tumbuhnya kesadaran berbangsa. Tanpa bermaksud mendiskreditkan, dasar pemilihan Budi Utomo sebagai pelopor kebangkitan nasional pernah dipertanyakan lantaran keanggotaan Budi Utomo hanya sebatas etnis dan teritorial Jawa. Ini dinyatakan secara jelas dalam anggaran dasarnya bahwa “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis”. Puncaknya dalam kongres pertama di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908, Dokter Tjipto Mangunkusumo yang waktu itu dokter pribumi di Demak dengan keras mengemukakan pentingnya pendidikan bukan hanya untuk priyayi dan masyarakat Jawa. Tetapi menyasar seluruh masyarakat. Ia mengusulkan agar Budi Utomo berani meningkatkan perannya secara politik. Namun usulan beliau malah ditolak peserta kongres.

Modal Sosial

Menyoal sumbangsih, disamping Budi Utomo tentu bukan berarti tak ada peran perkumpulan lain. Tersebut pula organisasi lain. Kehadiran mereka juga lebih merepresentasikan upaya membangun kesadaran dan kebangkitan nasional. Salah satunya mari membahas Sarekat Islam (SI). Berbeda dengan Boedi Oetomo, SI tidak membatasi keanggotaan pada masyarakat Jawa dan Madura saja. Keanggotaan organisasi pun mencakup lintas wilayah Hindia Belanda dan terbuka untuk semua lapisan masyarakat, bukan hanya terbatas kalangan elit. Sikap inklusif organisasi dapat ditengok dari susunan para pemimpinnya yang berlatarbelakang dari berbagai daerah. Sebut saja diantaranya Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM Sangaji dari Maluku. Begitupula lingkup dan bidangnya juga luas. Berbeda dengan Budi Utomo yang hanya berkutat di bidang pendidikan dan kebudayaan, cakupan aktifitas SI merambah ke ranah politik. Meski organisasi SI berlabel agama, namun sangat peka terhadap perbedaan. Maksud utama pembentukan SI justru untuk membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong serta mengembangkan perekonomian rakyat.

Pemaparan sejarah di atas tak bermaksud mengadu dan mencari kekurangan. Sebab masing-masing bisa saja punya ijtihad atau dasar pertimbangan sendiri. Di sini kita mencoba menggali warisan berharga. Sejarah peringatan HKN adalah momen untuk mengenali unsur penting yang membentuk kesadaran nasional. Dengan begitu kita tidak melupakannya dan paling penting menjadikan sebagai bekal menghadapi masa kini dan mendatang. Unsur yang menempa mentalitas dan perjuangan melawan kolonialisme tidak bisa dilepaskan dari unsur primordial yakni kehadiran modal sosial. Bahkan faktor penting yang membangkitkan kesadaran nasional sebagai modal kemerdekaan. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di belahan dunia lain. Sebut saja gerakan revolusi Belanda melawan Spanyol pada abad ke-16 berbasis gerakan keagamaan sebagai unsur modal sosial. Begitupula gerakan nasionalisme Inggris di abad ke-17 sebagai suatu gerakan nasionalis teramat penting di Eropa yang melahirkan revolusi kaum Puritan. Demikian juga revolusi Amerika Utara dipelopori kaum Puritan. Adapun di Indonesia, konsekuensi logis dari identitas mayoritas penduduknya, maka Islam faktor pendorong terbentuknya nasionalisme dan basis perjuangan kemerdekaan.

Namun sangat disayangkan belakangan muncul upaya-upaya memojokkan agama sebagai biang pemecah belah bangsa atau anti nasionalisme. Istilah seperti radikal dan ekstrim cenderung digiring ke satu agama yaitu Islam. Tuduhan barusan sering dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk membentuk sentimen anti atau Islamophobia. Dalam konteks kehidupan politik kebangsaan, membawa nilai agama dilabeli politik identitas. Seakan agama harus dijauhi. Anehnya, saat tahun politik sibuk berlagak saleh dan mendekat ke tokoh agama. Fenomena tersebut bukan kali ini saja terjadi. Saat ajaran agama yang disuarakan menyinggung kezaliman dan ketidakadilan yang secara terang-terangan dipertontonkan kalangan kuat dan berkuasa, maka yang menyuarakan bakal dimusuhi. Bila ditarik jauh ke belakang, cara serupa didapati di masa penjajahan. Kolonial dan antek-anteknya begitu anti dan memerangi gerakan perjuangan kemerdekaan berbasis agama. Padahal peran agama begitu sentral membentuk kesadaran nasional dulunya. Agama dan nilai normatif lain memandu kita mencapai tujuan, meluruskan yang bengkok dan penyimpangan dalam tatanan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika pihak yang menyampaikan nilai kebenaran distigmatisasi buruk dan dianggap ujaran kebencian asbab menyinggung, sementara di sisi lain praktik ketidakadilan, kezaliman dan kecurangan malah dipuja, siap-siap saja menanggung konsekuensi. Sudah sunatullah kebatilan dan kezaliman tak akan pernah menang atas kebenaran. Tak peduli sehebat apapun kekuasaan dimiliki. Kebangkitan nasional saksi takluknya kezaliman penjajah dengan segala kekuatan superpower-nya.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

RAMADHAN MODAL SOSIAL BERHARGA

Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebagaimana diketahui, terdapat perbedaan terkait jadwal permulaan puasa …