Stunting dan Kanker Anak

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Hari Kanker Anak Internasional (HKAI) yang diperingati setiap tanggal 15 Februari perlu mendapat perhatian bersama. Sebagai bentuk dukungan kepada anak-anak penyintas kanker agar tetap semangat menjalani hidup sebagaimana terangkum dalam tema peringatan HKAI tahun ini yaitu Better Survival is Achievable. Tema dimaksud juga wujud penghargaan kepada tenaga kesehatan dan keluarga atas dukungan dan kebersamaan. Momen HKAI sekaligus warning. Dari segi jumlah, anak penderita kanker di Indonesia tak bisa dipandang sebelah mata. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Agensi Internasional untuk Riset Kanker (IARC) memperkirakan 8.677 anak Indonesia berusia 0-14 tahun menderita kanker di tahun 2020. Jumlah tersebut terbesar di Asia Tenggara. Setelah Indonesia disebut pula Filipina di posisi kedua dengan 3.507 kasus, Vietnam 2.806 kasus dan Thailand 1.437 kasus. Jumlah kasus di Indonesia terpaut begitu jauh. Data lain menyebut tiap tahun sekitar 11.000 anak Indonesia terdiagnosis kanker. Meski sumber Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI bilang kasus kanker anak di Indonesia sebetulnya cukup jarang, tapi salah satu penyebab utama kematian 90.000 anak setiap tahun. Adapun jenis kanker terbanyak menyerang anak antara lain: leukemia, kanker menyerang mata (retinoblastoma), kanker sel-sel saraf (neuroblastoma) dan kanker kelenjar getah bening (limfoma).

Terkhusus Riau, kanker anak semakin relevan berhubung masih tingginya kasus stunting. Mengutip kajian dan pendapat ahli, selain sebabkan gangguan perkembangan otak dan kemampuan kognitif, stunting juga melemahkan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya mudah terserang penyakit. Lemahnya daya tahan tubuh membuat proses penyembuhan lebih lama. Mereka pun berpeluang idap penyakit degeneratif diantaranya kanker. Kekhawatiran bukan hanya besarnya potensi anak stunting menderita kanker. Anak penderita kanker juga berpeluang sama besar menderita stunting. Saat ini pasien anak penyintas kanker yang terdiagnosa malnutrisi mencapai 60 persen bergantung tipe kanker, jenis terapi dan metode pengukuran. Meski perlu penelitian lebih mendalam guna mengkaji keterkaitan kondisi malnutrisi anak dengan kanker, secara logika cukup beralasan. Anak dengan masalah nutrisi saja rentan kondisi kurang gizi atau malnutrisi. Apalagi yang menderita kanker. Apabila nutrisinya tidak ditangani secara baik, konsekuensinya bisa stunting. Malnutrisi bukan saja ditandai kurusnya kondisi fisik anak. Akan tetapi bisa menimpa anak terlalu gemuk (obesitas). Bukan semata anak di desa terpencil atau kantong kemiskinan, tetapi juga masyarakat perkotaan yang orangtuanya pekerja kantoran. Akar masalahnya pengetahuan dan kesadaran pentingnya nutrisi bagi anak.

Membangun Kesadaran

Kesehatan anak dan remaja elemen penting demi mempersiapkan generasi cerdas dan unggul. Artinya, upaya mengatasi kanker anak sangat menentukan cita mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045. Visi dan misi daerah wujudkan SDM berdayasaing juga hanya bisa dicapai jika generasi sehat dan peroleh kehidupan layak. Berangkat dari gentingnya keadaan, tindakan segera sangat dinantikan. Namun penanganan kanker anak tak bisa pakai cara serupa kanker orang dewasa. Butuh pendekatan khusus. Terlebih kanker anak lebih kuat efek fisik dan psikis. Menurut penelitian American Cancer Society, anak menderita kanker jauh lebih berisiko alami gangguan psikologis dibanding anak seusianya. Gangguan mulai masa pengobatan hingga ketika sembuh. Bentuknya meliputi gangguan kecemasan (41,2 persen), penyalahgunaan obat-obatan (34,4 persen), mood dan lain-lain (24,4 persen). Bahkan bisa berujung depresi, memicu sikap antisosial, stres berkepanjangan (PTSD) dan skizofrenia. Laporan Kemenkes di tahun 2015 turut membenarkan penelitian tadi. Bahwa 59 persen anak pengidap kanker punya masalah mental. Oleh karena itu, menyikapi kanker anak harus menyentuh kedua aspek yakni fisik dan psikis. Bentuknya beragam: deteksi dini dan perawatan memadai, membangun kesadaran dan upaya promosi kesehatan masif dan berkesinambungan, menyampaikan informasi dan mengedukasi masyarakat dan orangtua agar dapat lakukan deteksi dini. Paling vital memperkuat dukungan orang terdekat sebagai faktor penentu membantu penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidup anak.

Pekerjaan di atas jelas butuh konsolidasi. Pemerintah terutama Provinsi bersama kelembagaan DPRD hingga Kabupaten/Kota harus duduk bersama merumuskan peta jalan penuntasan masalah kanker anak. Begitujuga pelibatan unsur seperti organisasi atau yayasan serta media massa untuk menjangkau orangtua, anak dan masyarakat. Kolaborasi dan sinergitas kata kunci. Berkaca dari respon Pemda terkait isu stunting sebuah awalan bagus. Namun anggaran jangan habis untuk rapat saja. Koordinasi memang wajib tapi seefisien dan seefektif mungkin. Terpenting penajaman agenda dan aksi. Program atasi stunting perlu komperehensif. Disamping menyasar anak pada umumnya, juga lebih memperhatikan anak penyintas kanker. Seumpama sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Perihal peta jalan mesti ada pedoman penanganan kanker anak secara tepat dalam situasi normal dan darurat. Optimal atau tidaknya penanganan penyakit kronis termasuk kanker anak bisa dilihat dari survivor rate. Kalau negara kita dibandingkan dengan negara maju terdapat gap cukup besar. Survivor rate kanker anak di negara maju mencapai 80 persen sementara negara berkembang kayak Indonesia 20 persen. Survivor rate ditentukan seberapa baik penanganan. Pembenahan mendasar diarahkan pada tata kelola kayak pendataan penderita kanker anak, pencegahan dan deteksi dini, akurasi diagnosis, meminimalisir kesalahan pengobatan dan akses fasilitas kesehatan.

Tindakan tentunya tak sebatas sektor kesehatan. Sekali lagi, penting membangun pemahaman dan kesadaran. Upaya ini lintas sektor. Bicara unit kerja tak cukup ditangani Dinas Kesehatan saja. Ada ruang dinas lain. Ambil contoh dalam rangka pencegahan, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi anak-anak juga menentukan. Ada peran orangtua di sini dan edukasi kantin dan jajanan di sekolah. Perkara jajanan yang bertebaran di sekitar lingkungan sekolah mungkin terlihat sepele tapi cukup fatal. Apalagi seiring perkembangan zaman banyak bahan produksi makanan mengundang mara bahaya. Sebagian turut memicu penyakit termasuk kanker. Di sini lakon Dinas Pendidikan bagaimana mengelola layanan kantin di dalam pekarangan sekolah. Dengan begitu memberi kesempatan kepada murid belajar memilih makanan baik dan sehat, mengajarkan ilmu gizi secara nyata serta menganjurkan kebersihan dan kesehatan. Selain itu, edukasi juga bisa ditempuh ke para pedagang sekitar sekolah. Kemudian adapula peran Dinas Perindustrian dan Perdagangan, menjalin koordinasi apik misalkan antara bidang pertanian dengan bidang industri guna meminimalisir makanan yang tak dapat dipertanggungjawabkan kebersihan dan kesehatannya. Langkah-langkah tadi satu dari sekian banyak jalan yang bisa ditempuh. Sekarang terpulang pada tekad dan itikad.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

SF Hariyanto Resmi Jabat Pj Gubernur Riau, Ini Respon Ketua Fraksi PKS DPRD Riau

Pekanbaru – Ketua Fraksi PKS DPRD Riau H. Markarius Anwar, ST, M.Arch mengucapkan selamat kepada …