Pers dan Peran Mendidik Bangsa

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Banyak asa di Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati belum lama ini tanggal 9 Februari. Bermula dari Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985, sejarah HPN tak bisa lepas dari lahirnya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang didirikan pada 9 Februari 1946. Semasa Orde Baru memang tak ada organisasi profesi pers lain selain PWI. Asbab, kekuasaan Orde Baru demikian kuat mengekang kemerdekaan pers. Berangkat dari sejarah dan filosofi lahirnya HPN, sudah semestinya kemerdekaan pers dihargai dan dipertahankan. Terlebih dekade belakangan boleh dibilang masa berat bagi pers. Begitu banyak upaya yang coba menyeret bangsa ke belakang. Sebuah kemunduran berdemokrasi. Khususnya dalam berserikat dan berpendapat. Pertandanya, publik semakin takut bersuara dan mengkritik. Bisa dilihat di sosial media (Sosmed). Ketika berhubungan dengan instansi negara, netizen kerap mengetik “mau komen tapi takut diciduk”. Puncak ancaman kemunduran demokrasi meningkatnya perundungan terhadap insan pers dan produk pemberitaan. Akumulasinya bikin indeks kebebasan pers Indonesia anjlok. Menurut data Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022 yang dirilis Reporters Without Border (RSF), skor kebebasan pers Indonesia menurun dari sebelumnya 62,60 di tahun 2021 menjadi 49,27 di tahun 2022. Peringkat Indonesia merosot dari posisi ke-113 di tahun 2021 ke posisi 117 di tahun 2022 dari total 180 negara.

Menyampaikan pendapat sesuatu yang mahal di negeri ini. Terutama bagi pers. Pemberitaan yang nyata-nyata objektif dan memenuhi kaidah jurnalistik saja sering diserang dan dilabeli hoaks. Kebenaran seolah diklaim sepihak. Sampai-sampai ada seorang Menteri negeri ini dalam acara di media terkenal mengatakan “Kalau negara bilang hoaks ya hoaks”. Paradigma tadi jelas berbahaya. Meski begitu, beratnya tantangan dan kerikil menghadang tak pernah ampuh membendung pers jalankan tugas dan fungsi. Sekilas mengulas perjalanan pers, kita mendapati jejak sangat jauh ke belakang. Merujuk kepada catatan sejarah, pers di nusantara berusia 228 tahun. Suatu kebanggaan bagi Riau selaku bumi Melayu, surat kabar pertama kali bernama Al-Juab Al-Djowab ditulis dengan huruf arab dalam bahasa melayu terbit rentang 1795-1801. Media ini sebagian besar artikel berisi tentang dakwah ajaran Islam. Kemudian 1842 terbitlah surat kabar berbahasa melayu berikutnya bernama Bianglala yang eksistensinya tak lama. Adapun surat kabar pertama berbahasa Indonesia bernama Bintang Timoer terbit di Surabaya tahun 1865. Cerita petualangan pers terus bergulir lintas zaman dan orde kekuasaan. Berkaca pada beragam rintangan, kunci kesuksesan pers Indonesia adalah sejauhmana pers terus berpegang teguh pada khittah-nya.

Tugas Mulia

Peringatan HPN memiliki arti spesial bagi Riau. Meski pusat kegiatan politik dan ekonomi Indonesia terkonsentrasi di Jawa utamanya seputaran DKI Jakarta, namun jumlah media terbanyak justru berada di luar Jakarta. Mengutip pernyataan Anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro Sapto dari laman resmi Dewan Pers (9/2/2023), Riau justru lokasi dengan jumlah media terbanyak. “Yang mengejutkan, ternyata jumlah terbanyak media itu bukan di Pula Jawa. Justru yang paling banyak ada di Riau. Jumlah media di Riau sekitar 12 persen dari total media secara nasional,” Cakapnya. Keberadaan pers tentu berkah bagi Riau, atau sebaliknya musibah jika pers tidak berjalan di atas relnya. Tak dapat dipungkiri peran pers begitu besar dalam kehidupan. Bukan semata di negara demokrasi, tapi mutlak berlaku dimana saja. Bicara defenisi, pers merupakan lembaga dibidang jurnalistik yang menyediakan, membuat, mengolah informasi yang didapat dari lapangan. Mengacu ke UU 40/199 tentang Pers, terdapat berbagai macam fungsi pers bagi masyarakat, bangsa dan negara. Yakni sebagai media informasi dan hiburan, kontrol sosial serta pendidikan. Menengok fungsi dimaksud, wajar begitu tinggi asa supaya insan pers dapat menjalankan tugas mulianya.

Dalam tataran media informasi dan kontrol sosial, pers diharapkan memberi pengetahuan dan wawasan. Kendati pers kalah cepat dibanding Sosmed yang memunculkan jurnalisme warga (citizen journalism), tapi dalam banyak kasus pers banyak membantu meluruskan informasi keliru yang terlanjur viral. Hal seperti ini yang dikehendaki. Membantu masyarakat memilah dan memilih informasi yang disebarkan dengan menyelidiki dan mengkritisi pemberitaan yang tak membangun. Fungsi ini juga menghendaki pers mengawasi tindakan pihak tidak bertanggung jawab, perbuatan yang melanggar hukum dan seterusnya lewat pemberitaan. Sebab publik perlu tahu keadaan mulai lingkup terbawah hingga urusan negara. Karena ketidakpedulian melahirkan sikap acuh tak acuh atas kondisi sekitar. Fungsi-fungsi disinggung di atas bertujuan membentuk pola pikir dan pola sikap. Muaranya kembali ke hakikat pers yang mana berfungsi mendidik. Pendidikan bukan saja domain sekolah. Walau dalam UU Sisdiknas pengertiannya mengarah ke kegiatan pembelajaran dan alinea ke-4 UUD 1945 menjabarkan tugas tadi konsekuensi logis hadirnya Pemerintahan, tetapi Pers juga punya tanggungjawab sama mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan melibatkan banyak unsur dan pemangku kekuasaan yang sederhananya kita bahasakan lingkungan. Cakupan fungsi pendidikan pers pun luas. Termasuk konteks sosial budaya. Ambil sampel negara kayak Korea Selatan dan Jepang yang berhasil mempopulerkan budaya mereka. Semua tak lepas dari peran pers mereka. Pers nasional semestinya berbuat serupa. Memperkuat dan mempopulerkan nilai bangsa, bukan malah melemahkan dengan impor budaya luar semisal hari Valentine yang selalu tren di bulan Februari.

Inilah sejumput harapan yang sekiranya perlu disampaikan dalam momen peringatan HPN. Terlebih di era globalisasi dan teknologi informasi, kehadiran Pers menentukan arah bangsa. Menimbang peran sentral, harus ada sinergitas antara pers dan Pemerintah secara timbal balik dan berkesinambungan. Kemitraan bukan bermakna pers dianggap alat demi kepentingan memperkuat kekuasaan. Kalau logika barusan dipakai, pemberi kritik bakal dianggap musuh. Dalam demokrasi ini kecacatan logika. Pers tak ubahnya CCTV yang memantau dan membantu pengambil kebijakan menyempurnakan diri demi mencapai capaian lebih baik. Meski harus diakui pers bukan sekumpulan malaikat, terdapat juga oknum yang memanfaatkan posisi untuk tujuan yang merendahkan nama baik pers. Apapun itu, semoga kekurangan diiringi pembenahan dan tantangan makin mendewasakan.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

KEMITRAAN KUNCI KEMAJUAN

Usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan masih menempati posisi pertama jenis pekerjaan yang menyumbang banyak tenaga …