SIASAT PENGENTASAN KEMISKINAN

Dalam sebuah kesempatan, Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar mengemukakan ke awak media bahwa persentase penduduk miskin di Provinsi Riau sebesar 7,04 persen. Persentase tersebut, lanjut Gubri, masih berada di bawah rata-rata nasional yaitu 10,22 persen (www.cakaplah.com, 17/10/2021). Namun melihat lebih detail, dari kebupaten/kota se Riau ada lima kabupaten dengan persentase tergolong masih tinggi atau diatas rata-rata provinsi, meliputi Kepulauan Meranti 25,28 persen, Rokan Hulu 10,31 persen, Pelalawan 9,16 persen, Kuantan Singingi 8,91 persen dan Kampar 7,33 persen. Sebaran kemiskinan tadi patut dapat perhatian, mengingat hampir separuh dari jumlah kabupaten/kota yang ada. Meski tujuh kabupaten/kota tingkat kemiskinannya dibawah rata-rata provinsi, namun perlu diantisipasi mengingat keadaan sosial dan ekonomi belum sepenuhnya membaik. Apalagi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau pernah mencatat kenaikan persentase penduduk miskin di Riau pada Maret 2021 sebesar 7,12 persen.

Angka-angka terus berfluktuasi. Terlebih di masa ekonomi sangat rentan. Apalagi, masih data BPS per Maret 2021, secara persentase penduduk miskin di daerah perkotaan naik dari 6,12 persen menjadi 6,52 persen. Sementara itu, di pedesaan naik dari 7,29 persen menjadi 7,51 persen. Kota yang selama ini sebagai “penyangga” dan destinasi harapan untuk memperbaiki kondisi ekonomi oleh masyarakat desa dan memunculkan urbanisasi, sekarang justru melahirkan persoalan yakni kemiskinan kota. Versi paling mengkhawatirkan adalah fenomena selama pandemi, banyaknya penduduk kota ke desa atau ruralisasi. Dengan begitu membuat desa menjadi penyangga (buffer) perekonomian di kala krisis melanda perkotaan. Jika tanpa rekayasa dan tanpa dibarengi kesiapan desa untuk menampung, bisa-bisa angka kemiskinan desa membludak. Maka tak heran topik tadi dibahas dalam Rapat Terbatas (Ratas) yang digelar Presiden dengan para menterinya beberapa waktu lalu.

Pembenahan  

Namun dalam kesempatan ini kita tidak membahas tren di atas. Ada hal lain dipandang penting, yakni bagaimana tingkat kemiskinan bisa ditekan serta kesenjangan dan ketimpangan ekonomi dapat disiasati. Pandemi memang memukul sendi kehidupan dan berbagai lini mulai pemerintah, swasta dan masyarakat. Kehadirannya pun bikin shock. Secara empirik kita juga tak punya pengalaman mumpuni menghadapi pandemi. Terlebih di sisi pengambil kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Namun pernyataan barusan bukan berarti sebagai dalih. Setidaknya pengalaman setahun menghadapi pandemi sedikit banyak beri pelajaran berharga untuk menentukan langkah lebih baik. Termasuk mengevaluasi berbagai pendekatan penting. Karena banyak program telah ditempuh namun hasilnya mengecewakan. Seperti jaring pengamanan sosial untuk menekan kesulitan ekonomi warga terutama kelompok ekonomi bawah. Program tersebut masih dibutuhkan dan sangat efektif untuk jangka pendek. Namun ironisnya banyak bantuan sosial dari Pemerintah baik Pusat maupun Daerah belum tersalurkan dengan baik. Malah bikin ribut sampai marah-marah oleh pihak pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini dengan unsur di daerah. Termasuk terjadi di Riau saat pertemuan pendamping PKH, BPNT, Himbara bank penyalur dan kepala dinas sosial se-Riau dengan Mensos pada Agustus 2021. Padahal kalau database dibereskan saja tanpa emosional dan koordinasi antara pusat ke daerah dibenahi sejak awal, implementasi di lapangan bisa lebih baik.

Kembali menyoal angka kemiskinan di bumi lancang kuning, memang untuk Sumatera angka kemiskinan Provinsi Riau berada di bawah provinsi tetangga. Namun melihat cerita klise potensi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tergolong besar se Sumatera, kemiskinan dianggap sebuah paradoks. Harapan kami di lembaga legislatif, Pemerintah Daerah terutama dalam lingkup ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dapat lebih bekerja keras mengatasi permasalahan kemiskinan. Karena tanpa upaya serius menyikapi problematika dimaksud, mustahil cita-cita mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Apalagi melihat angka kemiskinan Provinsi Riau 3 tahun terakhir, penurunannya dinilai kurang signifikan. Ditambah dengan perjuangan masyarakat menghadapi pandemi, secara logika bisa membuat ketahanan ekonomi berada di titik kulminasi terberat. Ujung-ujungnya, sekali lagi, angka kemiskinan bisa bertambah.

Modal Berharga

Perihal SDA, harapan agar kekayaan alam negeri ini berdampak masif bagi perekonomian daerah dan mensejahterakan manusianya. Baik itu Migas dan belakangan jadi primadona yakni kelapa sawit. Sama halnya dengan Migas, disebut terakhir juga belum adil dari segi pembagian ke daerah dan belum banyak dirasa dampaknya. Padahal menurut riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), perkebunan kelapa sawit dapat dan mampu membangun daerah miskin dan terbelakang menjadi sentra perekonomian baru. Bahkan kelapa sawit sudah diposisikan sebagai sektor yang bisa membantu terwujudnya Sustainable Development Goals (SDG) mengatasi persoalan kemiskinan. Asumsi tadi beralasan, mengingat  diversifikasi pengolahan kelapa sawit begitu luas dan melibatkan beragam unit usaha. Sampai limbahnya pun punya nilai manfaat dan ekonomi. Selama ini keuntungan perkebunan kelapa sawit lebih banyak lari ke luar. Pemodal dan pelaku usahanya pun orang luar daerah bahkan berkantor di negara tetangga. Sementara warga Riau merasakan dampak kerusakan infrastruktur jalan dan lingkungan serta konflik.

Berangkat dari pemaparan di atas, perlu terobosan agar sektor kelapa sawit dapat berdayaguna terhadap perekonomian daerah, berdampak pada meningkatnya kesejahteraan warga dan berkesinambungan dari sudut pandang lingkungan untuk kehidupan generasi daerah di masa mendatang. Keuntungan mesti tinggal di daerah dan sepenuhnya menguntungkan warga. Baik itu bagi pihak terlibat langsung dengan sektor tersebut seperti para petani dan pekerja serta masyarakat tempatan, juga masyarakat Riau secara luas. Pemprov dengan kapasitas dan kewenangan dimiliki punya kemampuan merekayasa kebijakan yang dapat memunculkan lahirnya industri hilir dan meningkatkan kinerja sektor kelapa sawit. Bukan tak mungkin Provinsi Riau menjelma sebagai eksportir besar. Untuk ke sana jelas butuh perencanaan matang dan roadmap. Selain itu, keberanian Pemprov Riau di beberapa kesempatan bersuara menuntut pembagian hasil dari sektor kelapa sawit juga harus didukung penuh dan harus ditempuh secara kolektif oleh segenap unsur daerah. Demi pembagian lebih adil bagi Riau, yang peruntukannya sebagai modal berharga untuk pembangunan daerah dan meningkatkan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) daerah. Karena mencapai level sejahtera tentu butuh penguatan manusia terlebih dahulu dengan berinvestasi ke sektor pendidikan, kesehatan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung.

SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

SF Hariyanto Resmi Jabat Pj Gubernur Riau, Ini Respon Ketua Fraksi PKS DPRD Riau

Pekanbaru – Ketua Fraksi PKS DPRD Riau H. Markarius Anwar, ST, M.Arch mengucapkan selamat kepada …