KESADARAN BERSAMA CEGAH KEKERASAN SEKSUAL

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.  
ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baru-baru ini Kepala Negara meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan serta Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sesuai judulnya, aturan barusan merupakan turunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Kehadirannya bak angin segar dan makin melengkapi. Sekedar informasi, Perpres merupakan salah satu dari tujuh peraturan turunan yang mendukung implementasi UU TPKS. Perpres 9/2024 mengatur pendidikan dan pelatihan pencegahan dan penanganan tindak Pidana Kekerasan seksual yang bersifat teknis ke dalam satu kesatuan proses pembelajaran, yang ditujukan bagi aparat penegak hukum, tenaga layanan pemerintah dan tenaga pada lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat. Ini dibutuhkan oleh pendamping dan korban kekerasan guna mendapat perlindungan hukum. Kendati demikian, ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemantauan dan evaluasi pelatihan harus menunggu Peraturan Menteri terkait.

Bicara kekerasan seksual masih menjadi mimpi buruk di tanah air. Khususnya perempuan dan anak-anak. Kasus demi kasus terus bermunculan dan beragam modus. Mulai ruang pribadi hingga merambah ke ruang publik. Bahkan di lingkungan pendidikan. Nyari tak ada ruang bebas dari kekerasan dan pelecahan seksual. Memang sulit menagih buah implementasi UU TPKS yang diundangkan belum lama berselang yakni 9 Mei 2022. Di awal-awal, para pemangku kepentingan kayak aparat penegak hukum terkendala ketika menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan masyarakat. Dalih yang dipakai menunggu aturan turunan atau peraturan pelaksana. Boleh dibilang permasalahan peraturan perundang-undangan yang sudah dibentuk selalu terbentur peraturan pelaksana. Kendati sebulan setelah UU TPKS diundangkan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) langsung gercep mengirim telegram dan memerintahkan ke seluruh jajaran di daerah menggunakan UU TPKS, namun kenyataan di lapangan seringkali pihak kepolisian tak berani memproses bermodalkan UU TPKS. Padahal semestinya tak mesti tunggu aturan turunan. Perkara regulasi teknis juga menyulitkan lembaga-lembaga layanan korban kekerasan baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat sipil.

Seiring berjalan waktu, Pemerintah terutama di Kementerian PPPA dan Kementerian Hukum dan HAM telah merampungkan sejumlah aturan pelaksana. Disamping itu mensimplifikasi lima peraturan pemerintah dan lima peraturan presiden menjadi tiga PP dan empat Perpres. Ketiga PP dimaksud antara lain tentang Dana Bantuan Korban TPKS; PP tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; dan PP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan TPKS. Sementara empat Perpres terdiri dari Perpres tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak di Pusat (Kementerian PPPA); Perpres tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum, Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat; Perpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA); serta Perpres tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS dan Perpres tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan serta Penanganan TPKS.

Modal Penting

Regulasi jelas modal utama. Menentukan arah dan usaha pencegahan dan tindakan lainnya. Contoh PP tentang UPTD PPA, Kami selaku anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau yang membidangi urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berharap PP tadi mampu berbicara banyak. Karena sebagai lembaga layanan berbasis masyarakat pastinya bersentuhan langsung dengan akar masalah. Sinergitas UPTD PPA begitu vital dalam memberi layanan terbaik kepada korban kekerasan seksual. Terlebih di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan atau wilayah kepulauan, terluar dan kantong kemiskinan. Kembali ke permulaan tulisan, sebagaimana UU 12/2022 berikut dipertegas Perpres 9/2024, kewajiban tidak hanya diemban Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah (Pemda) mempunyai tugas sama. Berangkat dari amanah konstitusi, semoga dapat segera dieksekusi oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah Daerah (Pemda) di Riau. Perpres 9/2024 bekal memperkuat kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) lembaga pelayanan perempuan dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) juga lembaga layanan masyarakat sejenis di Riau.

Kita ingin terbangun kesadaran kolektif di sisi aparatur negara dan pelayan publik. Inilah kuncinya. Mencegah kekerasan seksual harus melibatkan semua lini. Tak bisa terpaku penegakan hukum yang diibaratkan memadamkan api saat kebakaran. Ketika aparatur negara dan pelayan publik memiliki paradigma berorientasi preventif, akan diintegrasikan ke setiap kebijakan dan program. Ambil contoh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta semasa dipemimpin Gubernur Anies Baswedan. Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) berkolaborasi, termasuk menggandeng BUMD Jakarta. Diantara wujud program, menghadirkan pelayanan transportasi ramah perempuan dan anak guna menekan tindak kekerasan seksual di ruang publik. Pemda DKI menyediakan area khusus wanita di transportasi umum Transjakarta dan Kereta Commuter Line (KRL), serta membentuk Pos Pelayanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di transportasi publik. Dinas Perhubungan DKI Jakarta juga memisahkan tempat duduk wanita dan pria di angkot dan sejenisnya. Sebenarnya, gagasan area khusus sudah pernah diterapkan di tahun 2011. Hanya saja terbatas pada moda transportasi tertentu. Di bus, area khusus wanita ditempatkan di bagian depan. Kebijakan lalu disempurnakan dan diperluas, sampai menyediakan gerbong khusus wanita di KRL. Kebijakan dipandang efektif. Selain penumpang wanita merasa aman dan nyaman, secara statistik terbukti mengurangi kasus pelecehan seksual.

Ekspektasi dan jangkauan implementasi Perpres 9/2024 tentu tak terbatas birokrasi. Setakad ini upaya pencegahan kurang optimal asbab bersifat parsial dan sektoral. Pendekatan berikutnya yang dipandang penting membangun kesadaran kalangan swasta dan masyarakat. Menyoal swasta amat urgen melirik media massa. Sudah rahasia umum media sangat berpengaruh membentuk pola pikir dan pola sikap. Berangkat dari besarnya peran media, maka diharapkan kepedulian negara akan insan pers. Karena menurut sejumlah penelitian dan kajian akademis, masih banyak konten media massa baik berupa pemberitaan dan iklan cenderung mengeksploitasi seksualitas perempuan. Tujuannya menarik khalayak ramai atau daya tarik pembaca pria. Kita semua sudah akrab pemberitaan yang secara tidak langsung menyudutkan posisi perempuan lewat muatan mengandung seksisme. Seperti judul berita “polwan cantik”, “pelayan cantik” dan lain-lain. Penggambaran perlahan bisa meracuni pikiran berikut berkontribusi melestarikan perlakuan tak pantas. Mewujudkan insan media berkualitas dan membangun kesadaran publik memandang kaum perempuan tak hanya berbanding lurus dengan ikhtiar mengurangi pelecehan seksual. Namun lebih dari itu, seiring penggambaran perempuan tak semata persoalan “fisik” akan beralih ke sudut pandang lebih produktif. Yakni melihat kompetensi, potensi dan sumbangsihnya dalam roda pembangunan.

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.  
ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Anggota DPRD Riau Abdul Kasim Minta Perbaikan Jalan Tuntas Sebelum Arus Mudik 

Dumai – Anggota DPRD Provinsi Riau dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, H Abdul Kasim SH, …