DEMOKRASI BUKANLAH “KURSI”

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab (Anggota DPRD Provinsi Riau, Fraksi PKS)

Hari demokrasi internasional yang diperingati 15 September 2020 lalu merupakan kesempatan untuk berkaca dan mengulas perjalanan demokrasi di Indonesia termasuk Riau. Menilik sejarahnya, hari peringatan tersebut lahir melalui resolusi PBB untuk memperkuat dan menkonsolidasi pelaksanaan nilai-nilai demokrasi. Sejauhmana demokrasi yang secara etimologis berasal dari kata rakyat (demos) dan kekuatan (kratos) atau jika digabung kekuatan rakyat (demokratia) terwujud dalam sistem perpolitikan, sosial, ekonomi dan penyelenggaraan pemerintahan negara di dunia. Untuk demokrasi di Indonesia setakad ini bak pungguk merindukan bulan. Demokrasi malah mengalami disorientasi dan distorsi.

Memang paska reformasi perlahan proses demokratisasi terus berkembang ke arah lebih baik. Namun seiring waktu selalu saja ada upaya menggerogoti proses tersebut. Ironisnya, upaya mendegradasi dan menciderai demokrasi justru dilakukan oleh pihak yang lahir dari suprastruktur demokrasi itu sendiri. Munculnya hasrat mengotorisasi dan mensentralisasi kekuasaan, meningkatnya praktik tekanan terhadap pihak yang dianggap berseberangan, pelaksanaan pemilihan dan kontestasi politik yang seringkali diwarnai penyalahgunaan kekuasaan, jabatan dan politik uang serta masih menguatnya kultus individu dan politik dinasti di lingkaran politik hingga rendahnya daya komunikasi pusat mendengar suara dari daerah adalah beberapa isu yang mengemuka.

Fenomena di atas bukan reka atau imajinasi tetapi didukung fakta dan data. Stagnannya Indeks demokrasi Indonesia beberapa tahun belakangan adalah buahnya. Laporan lembaga riset bisnis dan ekonomi berbasis di Inggris The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2019, dari 167 negara yang diriset, Indonesia menempati posisi yang sama dengan tahun sebelumnya yakni peringkat ke-64 secara global. Namun tren tiga tahun terakhir, skor indeks demokrasi Indonesia terus menurun. Tahun 2016 Indonesia pernah menempati peringkat ke-48 dengan skor 6,97, pada tahun 2017 Indonesia menempati peringkat ke 68 dengan skor 6,39. Indonesia malah berada jauh di bawah Malaysia (peringkat ke-43). Timor Leste punya posisi lebih baik (peringkat ke-41) seiring membaiknya proses demokrasi di sana. EIU mencatat indeks demokrasi Indonesia 2019 berada di angka 6.48, sedangkan Malaysia 7.16. Padahal pada 2014-2016 Indonesia lebih unggul ketimbang Malaysia. Namun indeks demokrasi Indonesia mulai turun sejak 2015, berbeda dengan Malaysia dan sejumlah negara lain di kawasan Asia dan Australia yang justru naik.

Kesimpulan dari peringkat tadi, saat negara tetangga terus berbenah memperbaiki iklim demokrasi, kita malah stagnan bahkan mundur. Dalam penjelasannya, EIU menyatakan negara semisal Indonesia memang masih demokratis, tetapi masuk kategori “flawed democracies” alias cacat. Sistem pemilihan belum berjalan dengan baik, bebas dan adil bahkan terdapat kemunduran di sejumlah indikator seperti menurunnya netralitas penyelenggaraan pemilihan, meningkatnya kecurangan perhitungan suara dan menurunnya kaderisasi di tubuh partai politik. Selain itu masih terjadi pelanggaran atas kebebasan media, menyampaikan pendapat dan kritik serta masih rendahnya transparansi penyelenggaraan pemerintahan. Penurunan skor juga diakibatkan wacana pergantian sistem pemilihan langsung menjadi tidak langsung yang sempat mencuat di akhir 2019. Meski Presiden Jokowi menentang wacana tersebut tak jamin hilang di masa akan datang.

Demokrasi dan Investasi

Demokrasi tak selalu identik dengan berisik. Bicara demokrasi juga tak melulu soal pragmatisnya dunia politik. Demokrasi memiliki lingkup dan efek multidimensional termasuk ekonomi. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Pemerintah Indonesia mengeluarkan banyak sekali paket kebijakan ekonomi. Namun masih belum mujarab mengobati kondisi perekonomian nasional. Bahkan pertumbuhan ekonomi menurun sejak 2014 silam. Dalam sikap resmi pemerintah, Presiden terus mengeluhkan proses perizinan investasi sebagai akar masalah, yang kemudian coba diatasi dengan cara “sapu jagad” melalui Omnibus Law. Sayangnya terjadi pergolakan dalam penyusunannya akibat dikesampingkannya nilai demokrasi. Apalagi ada isu miring menyebutkan intervensi pemodal dalam penyusunan. Dengan dikesampingkannya protes rakyat jelas semakin menjatuhkan reputasi demokrasi Indonesia.

Bicara persoalan ekonomi dan investasi perlu melihat secara komprehensif. Termasuk menarik benang merah dengan tema demokrasi. Menguatnya demokrasi nasional dan daerah juga dapat mempengaruhi kepercayaan investor berbisnis. Meski bukan faktor tunggal, kenaikan indeks demokrasi bisa memicu kegairahan investasi. Hasil penelitian ISTC Business School Paris menunjukkan korelasi antara perbaikan sistem perpolitikan dan pemerintahan, tranparansi dan kebebasan sipil dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi. Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin ketika merilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menyatakan bahwa Indeks demokrasi barometer paling riil untuk melihat stabilitas politik dan kepastian hukum. Hal senada disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, bahwa indeks demokrasi salah satu pertimbangan investor. Logika sederhananya, semakin tinggi indeks demokrasi akan terwujud tata kelola pemerintahan yang baik. Sebab demokrasi menuntut transparansi dan keterbukaan atas masukan dan kritikan. Sementara pemerintahan yang dijalankan dengan cara semau gue cenderung tertutup atas masukan dan kritikan. Ujungnya arah kebijakan tidak tepat sasaran, berujung gaduh dan memicu protes. Jika sudah tidak kondusif investor tentu akan pikir-pikir.

Ubah Persepsi

Oleh karena itu perlu meluruskan persepsi mengenai demokrasi dan membenahi cela dalam pelaksanaannya, secara nasional hingga lokal. Untuk Riau sendiri ada catatan terhadap IDI. Berdasarkan data BPS, capaian kinerja demokrasi Indonesia Provinsi Riau tahun 2019 75,21, menempatkan Riau berada di kategori sedang. Skor ini turun 2,38 poin dibandingkan dengan IDI 2018 77,59. Sementara peringkat teratas Jakarta sebagai provinsi paling demokratis dengan skor 88,29 kemudian menyusul di bawahnya Kalimantan Utara dan Kepulauan Riau. Capaian Riau di tahun 2019 tentu perlu diperbaiki ke depannya. Apalagi Riau punya sejarah luar biasa dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, sebagaimana yang kami tuangkan di tulisan terdahulu berjudul “Mengulang Sejarah Emas Riau” (kolom Cakap Rakyat, 05 September 2020). Tugas tersebut bukan hanya beban pihak penyelenggara pemerintahan daerah. Ada peran sentral partai politik berikut politisi daerah sebagai aktor utama serta elemen masyarakat yang juga penentu arah demokrasi. Ambil contoh simpel sikap saat memilih, selama masyarakat gemar politik uang maka selama itu pula demokrasi akan dipandang politisi semata tahta dan harta.

Perbaikan persepsi terhadap demokrasi penting karena akan mempengaruhi cara pandang orang luar terhadap daerah, termasuk diantaranya menarik investasi tadi. Setiap kita punya tugas dan tanggungjawab sesuai porsi masing-masing untuk merubah stigma terhadap demokrasi selama ini identik dengan kontestasi merebut “kursi” (baca: kekuasaan); menganggap demokrasi sebagai tujuan bukan sarana. Boleh jadi kesalahan paradigma menyebabkan kenapa demokrasi di negara kita hanya melahirkan kegaduhan bukannya perubahan signifikan dalam pembangunan dan kesejahteraan, kecuali bagi beberapa daerah yang menghasilkan pemimpin yang cakap dan punya kapabilitas. Karena demokrasi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Demokrasi idealnya sebagai proses dan jembatan menuju pencapaian cita-cita, untuk ke sana membutuhkan partisipasi dari setiap komponen dan entitas dalam sebuah negara. Tujuannya bukan “kursi” tapi suksesi.

Oleh: H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Sampai Jual Kebun, Pasien Asal Meranti Ini Sebut Rumah Singgah PKS Sangat Membantunya

Pak Adam, usianya tak lagi muda, tubuhnya kurus. Sudah dua pekan ia berada di Rumah …