Wanita dan Daya Saing Bangsa

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM

Pekanbaru – Hari Wanita Internasional (HWI) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret punya makna begitu penting. Banyak aspek perlu diangkat, dikaji dan diwujudkan ke ranah realita. Berkaca ke sejarahnya, bermula dari gelombang protes dan aksi mogok kerja yang disuarakan belasan ribu perempuan di New York City, Amerika Serikat tahun 1908 menuntut hak-hak mereka. Utama sekali hak politik dan upah yang adil. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1910, Konferensi Internasional Wanita di Kopenhagen mengusulkan 8 Maret diperingati sebagai HWI. Disusul kemudian di tahun 1975, PBB menetapkan secara resmi. Namun sayang, topik yang diangkat setiap peringatan HWI condong memperjuangkan kesetaraan gender semata. Sementara penyadaran supaya perempuan berperan aktif dan berani menyuarakan hak-haknya belum ditempuh secara paripurna. Bukan berarti isu kesetaraan gender tidak prioritas. Kami di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi Riau juga sudah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) Di Provinsi Riau. Akan tetapi, penguatan kesadaran akan hak dirasa jauh lebih penting. Terutama dalam memperoleh pelayanan publik mendasar seperti pendidikan, kesehatan dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Ketika ini terwujud, dengan sendirinya kesetaraan gender dapat dicapai.

Hak-hak disebut diatas setakad ini pekerjaan rumah mendasar. Untuk mendedah fakta mari berkaca ke data. Diantaranya mengacu ke laporan Global Gender Gap tahun 2022 yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF) yang memaparkan ketimpangan gender di empat bidang, yakni pemberdayaan politik, partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, serta kesehatan dan kelangsungan hidup. Secara umum, skor indeks ketimpangan gender Indonesia berada di peringkat ke-92 dari 146 negara. Jika membaca terperinci, indeks pemberdayaan perempuan di Indonesia dalam bidang politik berada di bawah rata-rata global atau tergolong sangat rendah. Adapun bidang pendidikan dan kesehatan, skornya masih berada di kisaran rata-rata global. Perlu intropeksi agar pembicaraan kesetaraan gender tidak semata menyoal banyaknya wanita menjabat atau berkuasa. Sampai-sampai paradigma barusan dijadikan indikator program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), yang mana satu dari sekian kriteria model Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) yakni daerah yang dipimpin perempuan. Menengok ke kondisi kekinian, banyak wanita Indonesia menduduki posisi tinggi di lembaga eksekutif dan legislatif. Amerika Serikat yang katanya paling demokratis saja belum pernah dipimpin presiden wanita. Meski begitu, kenapa Indonesia masih dibayangi ketimpangan gender? Jadi, akar masalah bukan sebanyak apa wanita yang bertahta. Tapi sejauhmana konsistensi menyuarakan sesuatu yang sudah menjadi hak kaum hawa.

Partisipasi Aktif

Peran aktif adalah kunci mewujudkan pemenuhan hak-hak wanita. Peran aktif wanita juga menentukan arah bangsa. Ada baiknya kita belajar ke sejarah. Kisah relevan dan menarik diangkat saat khalifah Umar bin Khattab berkuasa. Para sejarawan dunia mengakui Umar seorang pemimpin paling adil. Beliau juga sahabat dijamin masuk surga. Bahkan dalam riwayat at-Tirmidzi, Al-Hakim dan Ahmad disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Seandainya ada nabi setelahku maka ia adalah Umar”. Meski pemimpin berkualifikasi mumpuni, suatu ketika pernah seorang wanita mengkritik Umar di hadapan khalayak ramai terkait pidatonya perihal mahar dimana beliau berkata “Wahai sekalian, jangan kalian banyak-banyak memberi mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah dan para sahabat sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah SWT dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.” Dalam riwayat lain dikatakan, Khalifah Umar mengancam akan memangkas kelebihan mahar yang diberikan seorang pria dan dimasukkan ke kas baitul maal. Usai berpidato dan turun dari mimbar seketika seorang wanita berdiri dan protes. “Wahai Amirul Mukminin. Engkau melarang orang memberikan mahar kepada istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu. ” Ya,” jawab Khalifah Umar. “Apakah engkau belum pernah mendengar firman Allah SWT (Surat An Nisa: 20)?” Cakap sang wanita. Umar pun beristighfar lalu kembali naik ke mimbar dan berpidato lagi. “Wahai khalayak, tadi aku larang kalian beri mahar kepada istri melebihi 400 dirham. Sekarang silakan siapa pun memberi menurut kehendaknya,” ucap beliau. Pelajaran bisa dipetik, selain kepemimpinan Umar yang adil dan amanah tapi tetap berjiwa terbuka dan anti-kritik, paling utama wanita menyampaikan aspirasinya.

Partisipasi aktif inilah yang dimaksud. Jabatan tak menjamin keadaan lebih baik. Contoh kini wanita sangat mengemuka di sektor kepemimpinan. Tapi tak banyak yang bersuara dan punya agenda jelas memperjuangkan kaum wanita. Menunggu dan berharap diberi lebih banyak kuasa justru menguatkan stigma wanita tak berdaya dan selalu minta dikasihani. Sedang sejarah bertutur sebaliknya. Kemerdekaan bangsa ada peran aktif wanita. Teruntuk Riau, jika Kartini digadangkan sebagai tokoh emansipasi, bumi lancang kuning punya sosok Syarifah Latifah istri Sultan Syarif Kasim II penguasa Kesultanan Siak Sri Inderapura. Tak sekedar mencurahkan kegundahan lewat tulisan, perjuangannya diwujudkan secara totalitas. Meski kiprah singkat, namun beliau meninggalkan warisan penting. Tercatat lahir dua institusi pendidikan. Pertama Latifah School, semacam sekolah kejuruan berdiri rentang 1926 dan 1928. Lembaga pendidikan kedua yang terealisasi atas andil Syarifah Latifah adalah Madrasatun Nisa atau Madrasah An-Nisa yang dibuka awal tahun 1929. Sesuai nama, ini merupakan sekolah agama untuk perempuan pertama berdiri di Riau. Pemikirannya pun reformis. Bahwa wanita semestinya mendapat kesempatan sama kendati tak lantas lupakan kodrat. Untuk mencapai tingkat itu harus pintar. Untuk pintar harus dapat pendidikan baik sejak dini. Inilah pangkal berdirinya sekolah khusus perempuan. Cara berpikir tadi sebenarnya sudah lebih dulu dijalankan sang suami. Di tahun 1917, Sultan Syarif Kasim II mendirikan sekolah dasar bernama Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah. Selain ajarkan ilmu agama juga mempelajari ilmu pengetahuan umum. Tujuan Sultan Syarif Kasim II menggagas madrasah untuk menyaingi sekolah pemerintah kolonial Hindia Belanda di Riau yaitu Hollandsche Inlandsche School (HIS), yang hanya diperuntukkan bagi anak bangsa Eropa, keturunan Tionghoa, atau bangsawan pribumi.

Upaya memperkuat kesadaran wanita kunci perubahan ke arah lebih baik. Sebab, secara jumlah perempuan hampir -mungkin bisa lebih- dari separuh populasi. Untuk hasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas dan berdaya saing, potensi perempuan harus dioptimalkan melalui berbagai program pemberdayaan. Ditambah perempuan berkait-kelindan dengan anak-anak. Bicara Riau, aksi konkrit sangat ditunggu mengingat Indeks Pembangunan Gender (IPG) di tahun 2022 88,71. Bandingkan provinsi tetangga terdekat, sebut saja Aceh 92,24, Sumatera Utara 91,06 dan Sumatera Barat 94,72. IPG sendiri adalah indikator yang digunakan untuk mengukur kesetaraan gender dan bisa dipakai untuk melihat peran aktif perempuan terutama dalam berbagai sektor yakni politik, ekonomi dan lain-lain. Upaya memperkecil kesenjangan gender dan pemberdayaan perempuan telah dituangkan Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Tinggal bagaimana Pemerintah Daerah (Pemda) berkomitmen dan mengintegrasikannya baik itu berupa penerbitan produk hukum daerah, alokasi anggaran perlindungan perempuan dan anak, serta membangun sinergi dan kerjasama dengan segenap pemangku kepentingan.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

RAMADHAN MODAL SOSIAL BERHARGA

Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebagaimana diketahui, terdapat perbedaan terkait jadwal permulaan puasa …