“Surplus” Konflik Kala Ekonomi Paceklik

Dalam rapat paripurna yang digelar awal pekan ini (Senin, 11/10/2021) DPRD Provinsi Riau menyepakati usulan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) penyelesaian konflik lahan. Munculnya usulan yang mendapat dukungan anggota dari lintas fraksi itu sangat beralasan. Dilatarbelakangi keprihatinan atas maraknya perselisihan dan konflik pemanfaatan lahan, melibatkan masyarakat dengan perusahaan juga masyarakat dengan negara. Mengutip dari Konsorsium Pembaruan Agraria per Januari 2021, secara nasional kasus konflik agraria di Provinsi Riau merupakan tertinggi se-Indonesia sepanjang tahun 2020. Riau menjadi daerah dengan tingkat kerawanan konflik tertinggi dengan 29 kasus sepanjang 2020. Sebaran konflik agraria di Riau pun terjadi secara masif di sejumlah kabupaten/kota. Bahkan salah satu kasus yakni sengketa lahan di Kabupaten Pelalawan yang melibatkan para petani dan masyarakat dengan PT Nusa Wana Raya (NWR) sampai menyita atensi khusus dari Presiden. Terbukti dengan diterbitkannya surat bernomor B-21/KSK/03/2021 tertanggal 12 Maret 2021.

Berangkat dari problematika di atas, maka perlu upaya konsisten dan penuh komitmen untuk menyelesaikan kasus perselisihan dan meminimalisir munculnya sengketa ke depan melalui berbagai pendekatan komprehensif dan terintegratif. Dari sudut pandang kelembagaan DPRD Provinsi Riau, pembentukan Pansus setidaknya bentuk ikhtiar untuk mengenali lebih mendalam sekaligus menginventarisir permasalahan dan faktor pemicu. Melalui Pansus ini pula nantinya bersama segenap unsur pimpinan daerah (Forkompimda) dan pemangku kepentingan, terutama masyarakat sebagai subjek utama yang menghadapi kasus sengketa lahan bisa mendapat ruang dan kesempatan menyuarakan masukan, kritikan dan aspirasi. Dengan membedah persoalan dan meneliti secara mendalam anatomi dari konflik lahan yang ada, output-nya berupa rekomendasi Pansus sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan di tingkat daerah berikut juga disampaikan ke pemerintah pusat.

Ancaman

Tingginya angka konflik lahan di Provinsi Riau tentu bukan sinyalemen baik. “Surplus” konflik pemanfaatan lahan pastinya punya dampak serius secara sosial dan efek rentetannya terhadap perekonomian. Apalagi sekarang kita berada di fase penting dalam agenda pemulihan ekonomi. Lebih lanjut bicara dampak sosial plus ekonomi dimaksud, data Badan Pusat Statistik memaparkan bahwa dari total tenaga kerja di Provinsi Riau hampir separuhnya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Terkhusus masyarakat adat juga sangat menggantungkan kehidupan dari sektor kehutanan demi memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah fenomena peralihan tenaga kerja dari kota ke desa dan pekerja sektor formal ke sektor pertanian dan perkebunan akibat terdampak pandemi, maka konflik lahan bisa-bisa memperparah keadaan. Ancamannya penambahan angka pengangguran dan makin memperdalam kemiskinan. Alhasil beban Pemda berkali-kali lipat mengatasi efek bola salju atas permasalahan yang muncul.

Jadi, mitigasi konflik dan mencegah kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas lahan adalah paradigma yang mendasari kenapa konflik lahan perlu dapat perhatian dan penanganan serius. Bicara soal lahan, bagi tenaga kerja dan masyarakat Riau yang didominasi kegiatan bertani dan berkebun, tanah adalah bagian tak terpisahkan. Oleh karena itu pengadaan, pengaturan dan peruntukan lahan butuh pendekatan kebijakan tepat. Jika tidak berujung pada munculnya krisis agraria lingkungan. Bentuknya ya itu konflik agraria, korupsi sumberdaya alam, tumpang tindih kebijakan yang akhirnya memproduksi kemiskinan. Kunci utama tentu sentuhan di tataran kebijakan yang relevan dengan tujuan dan cita-cita reforma agraria. Di sini regulasi mulai pusat hingga aturan turunan di tingkat daerah punya daya determinan untuk memecah permasalahan. Kita sangat mengharapkan penerapan Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja membawa solusi sebagaimana dulu dijanjikan saat penyusunannya.

Berkaca sebelum adanya UU Cipta kerja, dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi penyusutan lahan yang dikuasai petani dari 10,6 persen menjadi 4,9 persen. Dari data sensus pertanian juga diperoleh informasi bahwa setiap menit terjadi konversi tanah pertanian ke fungsi non-pertanian seluas 0.25 hektar. Sementara ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0.68, artinya 1 persen penduduk menguasai 68 persen tanah di Indonesia. Pemaparan angka barusan lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa mengerikan jika akar konflik lahan tidak diatasi secara bertahap: kesenjangan makin menyeruak. Kembali menyoal reforma agraria, semestinya ruh kebijakan berangkat dari keadilan pemanfaatan lahan. Apalagi DPRD Riau sendiri pernah mengemukakan temuan 1,4 juta Ha kebun sawit illegal di Provinsi Riau yang membuat negara kehilangan potensi pajak hingga Rp. 107 T! Sudahlah negara buntung, diperparah masyarakat Riau yang menggantungkan hidup dari pertanian kehilangan nilai ekonomi akibat konflik dan tak punya akses lahan karena sebagian besar sudah dikuasai perusahaan.

Kembali ke pendekatan mitigasi konflik, harus berangkat dari upaya komprehensif dan integratif. Menjaga investasi di daerah perlu. Namun harus ada pendekatan kedua sisi. Dimana negara dalam hal ini Pemerintah menjaga iklim usaha berlangsung dengan baik dan ekonomi masyarakat tempatan dapat meningkat. Untuk membentuk iklim positif, peran Pemda memberi apresiasi, insentif atau stimulan bagi pihak swasta, pemilik lahan besar atau perusahaan yang berkomitmen. Di sisi lain tegas melakukan penindakan terhadap yang “nakal” atau melakukan aktivitas illegal di bumi lancang kuning. Adapun untuk masyarakat, cara-cara berorientasi industrialisasi desa bisa dilirik. Dengan mewujudkan tata kelola sumber-sumber agraria secara adil, inklusif, berkearifan lokal dan berkelanjutan. Di sini pihak swasta dan perusahaan, Pemda dan masyarakat punya peran masing-masing untuk saling menguatkan. Setiap pihak menginginkan adanya keuntungan ekonomi dari pemanfaatan lahan. Tujuan tersebut hanya bisa dicapai ketika terwujud suasana kondusif. Sementara konflik justru membawa kerugian.

Oleh: SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

MENJADI GENERASI PEMBEDA

Selain bulan penuh kebaikan dan keberkahan, Ramadhan bulan diturunkannya Al-Quran. Peristiwa ini kita kenal Nuzululqur’an. …