Oleh: pengamatan seorang suami di acara LatAnSa (Latihan Perempuan Siaga).
Sebagai seorang ayah dan laki-laki saya akan memberikan catatan kisah yang sayang bila dibuang. Tadhhiyyah (pengorbanan) seorang perempuan dalam menyambut seruan acara LatAnSa (LATan perempuAN SiagA. Ketaatan dan kesigapan mulai persiapan perlengkapan sampai rangkaian acara yang mereka ikuti. Saya telah melihat kesungguhan mereka mulai dari ketelitian, keteraturan dan pengorbanan mereka untuk sebuah persiapan perjuangan dakwah ke depan.
Saya mengambil cerita perempuan yang ada di dekat saya saja dan sehari-hari bersama saya dan banyak memberikan inspirasi dakwah dan mendorong perjuangan saya, ibu bagi anak-anak saya yang menyediakan waktu hanya di rumah sejak kami menikah. Jika itu orang lain tentu saya tidak bisa detail menilainya dan tidaklah saya ada hak menceritakannya. Ini juga bukan saya berlebihan kata orang lebay, bukan karena seseorang itu istri tapi kita akan mengambil ibrahnya. Nun jauh di sana ada banyak para suami yang berhak menilai istrinya dari dekat.
Pemberitahuan kepada istriku agar ikut LatAnSa di daerah kami baru saja lima hari sebelum hari H. Tampak kerisauan diwajahnya, kenapa? Dia orang yang perfec dalam setiap agenda dakwah, mulai mengisi taklim, halaqah pekanan sampai berjanji dengan mad’u atau klien konsultasi keluarga semua tidak boleh mengecewakan dan kalau perlu ada sesuatu yang disedekahkan untuk mereka selain nasehat tentunya. Semua perlengkapan belum ada satupun yang disiapkan, tapi untuk tugas hafalan saya pernah mengeceknya sudah hafal Qs. Al Anfal 1-5.
Kalau saya pergi mukhoyyam dia juga sibuk mengingatkan barang dan alat yang akan dibawa.
“Kalau ummi yang mukhoyyam insyaAllah peralatan dan persiapan fisiknya akan ummi siapkan jauh hari sebelumnya” katanya suatu hari. Kesungguhan itu benar-benar ia lakukan keesokan paginya.
“Bah.. tolong pegang kaki ummi..” tiba-tiba membangunkan lelap mataku sisa tadi malam.
“Untuk apa ..?”tanyaku.
“Ummi mau sit-up, besok di LatAnSa biar nggak sakit-sakit badannya” ucapnya sambil mengambil posisi.
Dua jam kemudian..seperti biasa pergi belanja ke warung tetangga.
“Ummi.., ke warungnya kok nggak pake motor..?” tanyaku heran lagi.
“Nggaklah.. jalan kaki aja biar lemaknya meluncur kan mau ikut LatAnSa..haha..” katanya sambil tertawa bernada mustahil. Nggak mungkin lah yaww.., jarak yang ditempuh terlalu pendek untuk ukuran lemak di tubuhnya.
Tapi itulah yang kulihat setiap hari rutin sit-up sepuluh kali kalau dia sibuk sampai dirappel dalam satu hari dan jalan kaki tiap keluar rumah. Dua hari lagi acara tapi amunisi LatAnSa belum lengkap. Memang aku yang menjanjikan akan bantu cari tapi kadang kesibukanku membuat aku hanya bisa berjanji terus, tapi ada juga beberapa yang kubelikan sambil jalan sore sama anak sulungku. Sampai suatu pagi sebelum sore pra LatAnSa:
“Kalau Abah sibuk terus biar ummi saja yang cari peralatannya..”
“InsyAllah siang ini kita cari sama-sama ya..” aku bujuk istriku agar kutebus janjiku kemarin.
“Udah siang.. panas.., kasihan anak-anak kalau ikut..” udah nggak sabar kayaknya, akhirnya aku kalah. Sejam kemudian ia kembali dengan membawa lengkap semua kebutuhan selama acara.
Dia pernah bilang bahwa LatAnSa ini kebutuhannya dengan Allah Swt, itu motivasi pertamanya.
Sore harinya pra LatAnSa ada gladyresik upacara pembukaan, dengan senang hati dan ceria bertemu dengan ummahat lain istriku sambil menggendong bayinya. Malam hari setelah shalat isya..:
“Ummi istirahatlah.. besok badannya biar fit, nulis apa lagi itu..? tampak sehelai kertas sedang dicoret-coret.
“Ini..ummi sedang nyiapin yel-yel dan ngarang drama untuk pentas seni atau haflah untuk besok” bakat feeling introvetnya mulai keluar.
“Iya.. tapi istirahat dulu sebentar aja..” mataku sudah mulai berat alias mengantuk.
“Tenang aja insyaAllah ..” jawabannya pun sudah samar terdengar tak lama aku pun tertidur.
Tiga jam setelah aku tertidur tepat pukul 2.45 dini hari, terdengar orang mengetuk pintu. Rupanya tetangga kami yang minta anaknya dibacakan Al Qur’an. IstrikSAPARI, [28.11.17 15:21]
u ikut terbangun seprtinya baru saja tidur, bergegas aku wudhu dan bersiwak. Daan.., ketika aku melewati dapur tercium aroma masakan yang khas disukai anakku. Istriku sudah memasakkan untuk kami yang akan ditinggal acara besok pagi, dapur sudah rapi dan piring bersih sudah tertata di tempatnya. Padahal siangnya aku sudah pesan:
“Ummi nggak usah repot masak besok pagi, kami beli aja lauknya” maksudku ingin meringankannya.
“Kalau ummi masih sempat masak, insyaAllah nggak usah beli..” itu jawaban optimisnya kukuh dengan hobinya yang suka masak.
Pantesan lemaknya jarang luntur, makanan dan cemilan selalu ready di rumahku buang lemak..tambah lemak..hehe. Hobi masak istriku ini membuat aku jarang makan di luar kecuali undangan atau kenduri baca do’a. Sekaligus menghindari anak-anak suka jajan, dalam hal ini nggak ada toleran sekalipun itu pemberian orang lain. Sekilas tentang hobi ini, istriku nggak bisa punya uang banyak. Dia akan selalu belanja banyak seperti mau hajatan sampai banyak tetanggaku yang heran untuk apa belanja sebanyak itu.
Dialah istriku yang suka bersedekah masakan dan makanan untuk siapa saja yang membuat majelis di rumah juga tetangga kami. Mulai dari halaqahnya setiap pekan enam kali dalam sepekan, taklimnya setiap pekan, teman-temanku yang datang, rapat-rapat harian dan semua acara majelis. Bahkan jika aku lebihkan uang belanja, dia akan membuatkan bekal makan siang untuk anak-anak sahabatnya yang ayah dan bundanya sehari-hari kerja di luar.
Kembali ke hape…
Setelah pulang dari tetanggaku, aku teringat janjiku sebelum tidur akan membuatkan jas hujan darurat. Ternyata itu yang belum dimilikinya, hari sudah malam tak ada lagi toko yang buka. Tak sampai setengah jam jas hujan dari plastik kacapun selesai lengkap dengan tutup kepalanya. Rupanya dia senang dengan karyaku, akupun ikut senang.
Pukul enam pagi, hari Ahad. Anak-anak sudah bersih dan rapi, lengkap dengan bekal sarapan dan botol minum. Aku mengantarnya ke lokasi, di sana tampak beberapa peserta dengan costum yang sama yaitu jilbab hitam dan rok celana kepanduan. Giliran upacara pembukaan aku bingung bayinya mau dititip sama siapa sebab aku baru bisa jaga kalau upacara sudah selesai. Kemanakah aku..?? Hehe.. rahasia ya..tapi aku bisa memantau istriku dengan sangat jelas tentu tidak bisa sambil pegang bayi.
Dengan sigap dia bilang “Sebentar lagi binaan ummi datang, Lina anak tetangga kita yang baru gabung mentoring kemsrin”.
memang benar beberapa menit saja Lina sudah datang menggendong bayi kami ke lokssi penitipan anak yang sudah disiapkan. Aku salut, ditengah kesibukannya dia mampu melibatkan anak tetangganya yang sekaligus binaannya untuk membantu agenda ini. Berarti sudah cukup diterima kegiatan istriku di hadapan tetangga-tetangga kami.
Upacara berlangsung khusyu’ bersamaan dengan hujan deras yang mengguyur peserta LatAnSa. Istriku berada paling depan dengan jas hujan buatanku bening transparan berbeda dari yang lain. Saat itu aku menjadi “kamera” khusus yang mengarah fokus hanya pada istriku. Saat tasmi’ surat Al Anfal, aku melihat jelas sekali bulir-bulir air matanya mengalir deras, akupun menyesak haru semoga inilah bukti iman dalam dada kami disebabkan dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Suci.
Begitu juga saat Mars Santika dibunyikan pada lirik yang menggambarkan putri barisan keadilan itu walaupun lembut hatinya tapi kuat fisiknya, selalu siaga dan tak mudah goyah. Aku jadi teringat pada rutinitas istriku di rumah sehari-hari, mengurus anak-anak, menyiapkan makanan dengan tangannya sendiri, mencuci pakaian dan membereskan rumah mungil.
Namun kewajiban terhadap agama dan dakwah menjadikan ia kuat dan kokoh sekalipun aku belum bisa memberinya kemewahan atau kecil dari kemewahan pada umumnya orang. Ia telah mengandung dan melahirkan anak-anakku dengan susah payah dan menyusuinya langsung tanpa pumping (alat bantu seperti botol ASI). Ibadah sunnahnya tak pernah tinggal setiap hari, shalat rawatib dua belas rakaat, tilawah satu juz setiap hari, baca surat tabarak dan dhuha tak pernah tinggal. Binaannya selalu bertambah setiap pekan.
Menulis juga menjadi hobi sekaligus amanah dakwahnya. Klien dan relasi muzakinya juga banyak. Organisasi yang dipimpinnya juga dinamis dan produktif setiap bulan. Namun tetaplah dia perempuan yang banyak kekurangan, aku memakluminya sebagaimana manusia. Lamunanku berhenti saat mars selesai tak lama upacarapun selesai.
Setelah sarapan dan shalat dhuha dan materi selama satu jam, barulah aku bisa mejaga bayi. Baru beberapa menit, bayiku mulai bosan aku ajak jalan-jalan dia diam tapi malah aku yang capek manggul, gendong, memangku beban seberat tujuh setengah kilo berat bayiku. Tak lama malah rewel dan nangis.. Duh..begini rupanya jadi seorang ibu, baru setengah jam sudah pegal dan lumayan capek membosankan.
Bagaimana ibunya yang sehari-hari mengurusinya, bahkan disambil nyuci, masak, menyapu, dan balas pesan Wa dan Tg. Sungguh tak terbalas seujung kukupun jasa seorang ibu. Tak lama bayiku tertidur dan segera ku bawa ke ruang penitipan anak. Bisakah istirahat setelah itu..?? Tiba-tiba..
“Abaaah.. lihat bajuku basah..” si Kakak dengan bangganya memamerkan baju dan jilbabnya yang basah kuyup. Rupanya dia main hujan tadi, akupun mengganti baju dan membersihkan si kakak. Kubiarkan lagi ia bermain dan aku terlelap sekejap. Tiba-tiba aku dibangunkan istriku bahwa bayiku terbangun, kembali aku mengajaknya berjalan dan aku mencium aroma khas dari celana anakku.
Pup..! Iyaah.. aku harus mencuci dan mengganti pempersnya. Begitulah selama sehari meskipun sesekali bersama umminya untuk ASI tapi sekilas rasa seorang ibu telah kurasakan sedikit.
Sore hari, tiba saatnya outbond. Sore kemarin aku sempat membantu panitia memasang tali tarzan dalam hati aku bertanya “apa istriku bisa melewati ini ya.., secara sizenya tu paling “big” gitu..hihihi..maaf ya dindaku “anti zawjati wa habibati”. Sambil gendong bayi aku bisa melihat istriku, sangat menikmati permainan demi permainan. Sampai di finish dan aku melihatnya baju dan jilbabnya paling kotor dan berlumpur.
Saat upacara penutupan hujan deras kembali menerpa, seperti posisi semula istriku paling depan dengan jas hujannya yang unik itu. Saat diumumkan kelompok dan peserta terbaik, istriku sangat layak untuk tidak terpilih karena dia bukan untuk itu. Itu menurutku, dia hanya penyemangat dari belakang dan kehadirannya harus jadi teladan tapi tidak untuk dilihat yang terbaik di muka umum. Benarlah dugaanku, aku bersyukur.
Terakhir, alhamdulillah.. acara selesai.
Begitulah sosok perempuan ketika berjuang dia totalitas dan bersungguh-sungguh pengorbanannya. Perempuan itu kuat tapi tidak keras artinya kuat dapat memikul segala tugas utamanya di rumah juga kewajiban agamanya. Dia tidak keras tanpa arah atau keras yang menurunkan kemuliaannya. Semoga setelah ini, semua istri orang-orang beriman punya ketahanan fisik, sigap dan berani dan kokoh aqidah dan ibadahnya. Mereka adalah pendorong suami-suami hebat dan para pemimpin tangguh. Di belakang laki-laki hebat ada sosok istri yang kuat dan shalihat. Aamiin..