PEMEKARAN: ANTARA ILUSI DAN ASPIRASI

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab Lc, MM

Rentang waktu belakangan, pemekaran mengemuka sebagai topik hangat dalam pentas politik nasional hingga lokal. Sebagaimana dikabarkan, Komisi II DPR RI berencana akan melaksanakan rapat untuk persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru (DOB) pada 18 Februari 2022. Melalui rapat nantinya, akan ditentukan nasib apakah RUU DOB dilanjutkan atau tidak. Jika disetujui lanjut maka akan dibawa ke paripurna untuk mendapat persetujuan seluruh Anggota DPR-RI menjadi UU Pemekaran. Dari informasi, tahapan teknis selanjutnya dapat dilihat apakah Pansus atau Komisi II sendiri yang akan menindaklanjuti RUU tersebut. Beberapa daerah seperti Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng) dan Papua begitu antusias merespon. Bahkan Jabar melalui Gubernur Ridwan Kamil menyatakan sudah menyiapkan Calon Daerah Persiapan DOB. Sehingga siap siaga sewaktu-waktu moratorium dicabut Pemerintah Pusat. Adapun isu menyebut puluhan daerah sudah masuk kajian untuk dimekarkan atau DOB, setelah diverifikasi ternyata tidak benar.

Akan tetapi bukan isu di atas perhatian tercurahkan. Sangat disayangkan dan disesalkan adalah tidak satupun suara dari Riau. Masyarakat, terutama yang dahulu telah jalani proses berjenjang dan melelahkan melengkapi berbagai persyaratan dan prosedur pemekaran, mempertanyakan kenapa di tengah menguatnya kembali topik pemekaran di pusat, bumi lancang kuning senyap-senyap saja. Padahal dahulu Riau sangat gencar ingin melakukan pemekaran kabupaten bahkan provinsi. Sekedar pengingat, sudah lama mencuat keinginan memekarkan seperti Provinsi Riau Pesisir, Kabupaten Indragiri Hilir Selatan (Insel), Kota Tembilahan, Rokan Tengah, Rokan Darussalam, Gunung Sahilan Darussalam. Berbagai kajian sudah dilengkapi dan sempat dibahas intens oleh DPRD Riau periode lama. Namun, mengutip perkataan Direktur Jendral Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan di tahun 2014, seiring terbit UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah maka waktu itu proses pemekaran yang telah direkomendasikan untuk beberapa daerah di Riau harus diulang dari nol. Keinginan pemekaran juga tertahan moratorium DOB.

Pentingkah?

Kembali menyoal pemekaran yang pernah membuncah di Riau, perlu dipertimbangkan kembali untuk disuarakan. Paling ketara jumlah penduduk dan luasan daerah, sudah sepantasnya Riau dapat jatah DOB baru. Apakah sebatas kabupaten baru atau merealisasikan provinsi baru. Gagasan mendasar dibalik wacana pemekaran sejalan dengan semangat otonomi daerah serta situasi dan kondisi. Untuk disebut terakhir, sebagian provinsi dianggap memiliki wilayah terlalu luas. Sementara di sisi lain upaya menjamin keterjangkauan pelayanan terhadap masyarakat mutlak diwujudkan. Dalih ini relevan dengan Riau. Dengan adanya kabupaten baru, diharapkan akses pelayanan publik bisa lebih terjangkau berikut lebih responsif menjawab kebutuhan masyarakat. Adapun mengenai provinsi baru tergantung seberapa paripurna kajian dilakukan. Jarak kabupaten/kota ke ibukota provinsi yang terbilang jauh merupakan salah satu alasan. Tidak efisien ketika menunaikan suatu urusan. Mengacu ke data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau tentang Jarak ke Ibukota Provinsi Riau 2019-2020, kebanyakan kabupaten/kota di Riau menempuh jarak lebih 100 Km ke pusat ibukota Pekanbaru yang mana lokasi berkantornya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau berikut tersedianya berbagai fasilitas lebih baik. Malah ada kabupaten menempuh jarak nyaris 300 Km. bandingkan dengan provinsi tetangga, hanya satu dua kabupaten/kota berjarak jauh ke ibukota. Sudahlah tidak ekonomis, dari segi Pemerintahan sulit bagi pihak provinsi menjalankan fungsi koordinasi secara efektif.

Sebagian menilai pemekaran dapat mengakselerasi pemerataan pembangunan dan distribusi “kue” ekonomi. Data dan fakta berbicara, pertumbuhan dan ekonomi Riau terkonsentrasi di titik-titik tertentu. Ibarat gula mengundang kawanan semut, kesenjangan pembangunan dan ekonomi memicu penumpukan penduduk semisal di ibukota provinsi. Lewat pemekaran harapan pembangunan bisa terdistribusi dan geliat ekonomi menjangkau lebih dalam ke wilayah selama ini terpencil. Apalagi Riau termasuk luas di sumatera dan peringkat 7 terluas se Indonesia. Meskipun punya luas 87,03 ribu kilometer (km) persegi tetapi kepadatan penduduk Riau sebesar 87.024 jiwa per km persegi. Dibandingkan dengan provinsi tetangga, merujuk ke data BPS perihal Kepadatan Penduduk menurut Provinsi dan sensus penduduk 2020, Sumatera Utara dengan luas wilayah 72.981 km² kepadatan penduduknya 203 jiwa/km². Sumatera Barat dengan luas 42.013 km² kepadatan penduduknya 130 jiwa/km².

Memang ada rapor merah pemekaran. Sampai-sampai menyebut asa pemerataan dan kondisi lebih baik paska pemekaran hanya ilusi. Pernyataan berangkat dari kajian atas daerah otonomi lebih satu dekade. Dari evaluasi Dirjen Otda Kemendagri bahwa, dari 57 daerah otonomi di bawah tiga tahun pada 2011-2012, 67 persen nilainya mengecewakan. Kurun 2012-2014, dari 18 DOB berusia di bawah tiga tahun tak satu pun memperoleh nilai baik. Namun bukan berarti kesimpulannya pemekaran buruk. Bagaimanapun dampak positif lebih banyak. Selain pembangunan dan ekonomi, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah otonom baru perlahan meningkat. Masyarakat makin paham hak-hak politik dan sipil. Ini bicara proses. Tak ada yang instan. Pemerintah Pusat hingga Daerah juga harus berperan membina wilayah yang dimekarkan. Jadi prosesnya sistematis dan berkala. Bak seorang anak, dididik mulai kecil hingga dewasa. Bukan mekar lalu dibiarkan. Terkait moratorium memang mampu mengerem DOB yang berpotensi menambah dan merumitkan persoalan yang sudah ada. Tapi moratorium saja bukan solusi. Malah menutup hak daerah-daerah yang benar-benar memenuhi kriteria dan mampu dikembangkan menjadi DOB. Moratorium seyogyanya momen mengevaluasi DOB yang sudah berjalan, sembari tetap menyeleksi calon-calon daerah yang benar layak.

Komitmen

Terakhir, soal senyapnya Riau memantik banyak dugaan. Disamping itikad dan stamina politik merembet ke hitung-hitungan kepentingan politik pemangku kepentingan. Sejarah Riau pantas diangkat sebagai pelajaran berharga. Tersebut 66 tahun silam di bulan sama Februari, paska UU 10/1948 yang menggabungkan daerah-daerah Keresidenan Riau, jambi, dan Sumatera Barat ke dalam satu provinsi yaitu Sumatera Tengah. Tokoh Riau kala itu mencapai puncak kegerahan. Selain tak sejalan dengan nilai historis dan budaya, Riau kurang mendapat perhatian di bawah pemerintahan Sumatera Tengah. Ditambah ada kesan pihak pemegang kekuasaan Sumatera Tengah memaksakan kebijakan pembangunan tanpa mendengar kebutuhan Riau. Untuk memperbaiki keadaan, tokoh masyarakat Riau menyampaikan tuntutan. Suara aspirasi ke pusat kurang mendapat sambutan dan berbagai usaha tak kunjung berbuah hasil. Lantas muncul keinginan memisahkan Riau dari Provinsi Sumatera Tengah. Ide awalnya tak bulat. Tapi kemudian jadi aspirasi daerah. Perjuangan berlangsung beberapa tahun dan puncaknya digelar Kongres Rakyat Riau di Pekanbaru tanggal 31 Januari sampai 2 Februari 1956. Diprakarsai tokoh masyarakat Riau, terbentuk kepanitiaan bernama Panitia Persiapan Provinsi Riau (P3R).

Khazanah yang diambil adalah komitmen elemen Riau mulai di level daerah hingga wakil di pusat menyuarakan keinginan aspirasi daerah akhirnya melunakkan Pemerintah Pusat yang semula begitu keras dengan caranya. Andai saja memilih cara konservatif bertahan bagian dari Sumatera Tengah sambil menunggu nasib baik, Riau bakal tertinggal jauh. Paling mengesankan sikap Gubernur Sumatera Tengah, Ruslan Abdul Gani yang turut hadir dalam sidang kongres. Padahal sang gubernur awalnya tak setuju Provinsi Sumatera Tengah dipecah. Meski bertentangan dengan kepentingan politiknya, tapi beliau mengedepankan aspirasi masyarakat. Bahkan pidatonya terang-terangan menyokong masyarakat Riau. “Bila Provinsi Sumatera Tengah dipertahankan seperti sekarang ini maka daerah-daerah lain yang jauh dan terpencil akan ketinggalan. Jika kita tinjau Riau dengan penduduk dengan kekayaan alamnya serta rakyatnya yang mempunyai aktifitas, maka Riau dapat dijadikan satu provinsi”, begitu kutipan pidatonya. Hal sama dengan aspirasi pemekaran. Pemerintah tingkat daerah mesti terbuka mendengar aspirasi berkembang. Apabila pemekaran sudah memenuhi kajian dan menjalani prosedur berlaku, maka kewajiban moral untuk memfasilitasi ke pusat.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

Ahmad Tarmizi : Semangat Melayani Jangan Pernah Berhenti

Pekanbaru – Musim Mudik Ramadhan 1445 H, di manfaatkan oleh PKS untuk memberikan pelayanan kepada …