17 Agustus 2024 kita memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79. Hari teramat penting dalam sejarah bangsa. Di momen sakral ini sering kita dapati beragam bentuk aktivitas. Paling menonjol tentunya upacara bendera hingga acara selingan di lapisan masyarakat berupa perlombaan. Namun satu yang semestinya tak boleh kita lupakan ialah bagaimana mengambil intisari dan pelajaran. Melalui kontemplasi dan refleksi diharapkan akan melahirkan kesadaran akan makna kemerdekaan. Disamping untuk mengenang jasa para pahlawan dan pendahulu yang telah berkorban jiwa dan raga, lebih fundamental lagi melestarikan spirit kemerdekaan. Karena merdeka tak putus di 17 Agustus 1945. Justru permulaan beranjak ke proses berikutnya yang tak kalah berat. Yakni mempertahankan kemerdekaan dan melanjutkan estafet perjuangan membangun bangsa sekarang dan masa mendatang. Tujuannya mencapai negara bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kemerdekaan yang diperoleh Indonesia bukanlah hadiah, melainkan hasil tekad dan kesungguhan. Sekarang tugas kita mensyukurinya dengan melestarikan warisan kemerdekaan.
Dalam upaya melestarikan warisan kemerdekaan maka harus didahului mengetahui tentang sejarah. Masa lalu bukan untuk dilupakan. Akan tetapi bekal berharga melihat masa depan. Bicara sejarah, dalam kesempatan kali ini ada hal menarik untuk dibahas. Terutama berkaitan peranan Riau di masa kemerdekaan. Diakui atau tidak, selama ini kita lebih banyak mengetahui kisah perjuangan di Jawa ketimbang pulau lain. Riau, terutama Pekanbaru, juga mempunyai kisah perjuangan tak kalah epik. Memang kabar kemerdekaan baru sampai di Pekanbaru pertengahan bulan September 1945, tepatnya 14 September. Keterlambatan dirasa wajar menimbang alat komunikasi sulit dan terbatas. Menurut penuturan Ketua Legiun Veteran Indonesia wilayah Riau, Soegirinoto sebagaimana dikutip dari berbagai media, hampir semua alat komunikasi penting dipegang oleh penjajah. Beliau juga menjelaskan bahwa bendera Merah Putih pertama kali berkibar di depan Kantor Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi lama. Sebelum menjadi kantor PU, gedung tersebut adalah Kantor Pos Senapelan (Pekanbaru).
Pekanbaru Bersejarah
Kendati agak lama menerima kabar merdeka, namun Riau umumnya dan Pekanbaru khususnya turut berkontribusi dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Mungkin banyak kita tak tahu, di Pekanbaru pernah terjadi aksi heroik perobekan bendera Belanda, mirip peristiwa di Hotel Yamato Surabaya. Bukannya hanya tercatat di berbagai literatur, kabar tersiar ke seantero penjuru nusantara lewat Kantor Berita Nasional Antara. Bahkan koran Kedaulatan Rakyat edisi 30 Desember 1945 mengusung tajuk, “Bendera Belanda dirobek dan diganti dengan Sang Merah Poetih”. Peristiwa cukup menggemparkan Jakarta. Apalagi pejuang republik di Pekanbaru melakukan perlawanan intens selama 3 hari. Terselip cerita kejadian disinyalir bermula dari penempelengan perwira Belanda ke pribumi. Merasa direndahkan, masyarakat murka dan balas dendam. Masyarakat dan pejuang mengepung markas militer Belanda distrik Riau. Belanda membalas dengan mengerahkan satu kompi. Tak satupun mengira, kekerasan fisik sederhana berbuntut panjang. Sebenarnya sentimen anti kolonial di Pekanbaru waktu itu belum sekuat Jawa. Mengutip pengakuan Kolonel Himron Saheman, puncaknya tragedi 12 November 1945. Pejuang berdatangan membawa senapan hasil mencuri markas Belanda dan menyerang balik pasukan yang siaga di depan hotel Hotel Syonanto (berganti Mountbatten Hotel) di Jalan Ahmad Yani sekarang. Melihat bendera Belanda berkibar di teras, pemuda Riau marah. Dalam waktu singkat massa berkumpul di kantor Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertempat di jalan sama. Di luar halaman, serdadu penjajah bersenjata lengkap hilir mudik berupaya menakuti massa. Massa makin tumpah ruah. Kendaraan militer Belanda dan Jepang dipukul mundur. Di hotel, massa tak terkendali. Menyerbu, menurunkan bendera Belanda dan merobek warna birunya. Tinggal merah putih yang kemudian dikibarkan disamping bendera Inggris di hotel tersebut.
Berangkat dari peristiwa sudah sepatutnya kita bangga. Wujud kebanggaan tentunya berbuah sikap peduli akan sejarah dan melestarikan unsur-unsurnya. Agar dapat dikenang dan dipelajari generasi ke generasi. Sayangnya banyak monumen semisal tugu, monumen, bangunan dan infrastruktur pengingat perjuangan serta peninggalan zaman penjajahan di Riau terabaikan dan rusak. Sebagian dipugar tapi celakanya malah menghilangkan nilai keotentikannya. Adapula tidak bersisa sedikit pun. Contohnya di belakang Kantor RRI Jl Ahmad Yani dulu Kantor Gubernur Jenderal Jepang. Pertigaan jalan Ahmad Yani dan Juanda terkenal kaya situs-situs bersejarah. Menurut keterangan pakar sejarah Profesor Suwardi MS, banyak mengira Jalan Jendral Sudirman ke pusat kota jalan poros pertama. Padahal pembangunannya baru tahun 1970-an. Di era penjajahan Jepang (1942-1945), jalan protokol adalah Jalan Ahmad Yani. Membentang dari Jalan Cut Nyak Dien ke Sungai Siak atau kawasan Pasar Bawah. Di sana dahulu terdapat kawasan perkantoran Jepang nan megah berikut tugu bertulisan huruf Jepang menyerupai Monas. Paska Indonesia menyatakan kemerdekaan tahun 1945, rakyat ramai-ramai menguasai Kantor Gubernur Jenderal Jepang. Huruf Jepang di tugu lantas diubah oleh para pemuda menjadi isi proklamasi kemerdekaan. “Dulu itu kebanggaan kita,” ujar Prof Suwardi.
Minimnya perhatian akan pelestarian objek sejarah seperti di atas sungguh kerugian besar. Selain membuat generasi bangsa sekarang ke depan kehilangan jati diri dan identitas, rusaknya situs sejarah bisa membawa kerugian di masa kini. Tak sedikit infratruktur peninggalan penjajah bernilai dan potensial untuk menggerakkan pembangunan. Misalkan infrastruktur transportasi. Sebagai salah satu daerah dijajah Jepang, rakyat Riau pernah merasakan kekejaman praktik romusa, membangun rel kereta api ke Sumbar sepanjang 220 Km. Kembali ke pemaparan Prof Suwardi, tepi sungai Siak dulunya stasiun kereta api pengangkut batubara. Rel membenteng ke kawasan Tanjung Rhu. Dari sana rel memanjang ke kawasan Jalan Jendral Sudirman berlanjut melanjutkan ke Jl Kereta Api saat ini hingga menuju ke Kabupaten Kampar. Andai saja jalur kereta api dapat dijaga dan dilestarikan, tentu akan dapat memperkuat moda transportasi di Bumi Lancang Kuning. Baik itu pengangkutan barang, juga guna mendukung mobilitas manusia. Teruntuk Pekanbaru yang mengandalkan sektor perdagangan dan jasa sebagai kontributor utama perekonomian, pastinya transportasi amat menentukan. Paradigma inilah kita inginkan: pelestarian dan pembangunan berjalan bersamaan tanpa melupakan sejarah dan identitas daerah.
MARKARIUS ANWAR, ST, M.ARCH
KETUA KOMISI III DPRD PROVINSI RIAU
BACALON WAKIL WALIKOTA PEKANBARU