MENEROKA RUU SISDIKNAS

Sofyan Siroj Abdul Wahab, Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau

Sebagaimana pemberitaan, Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Kabarnya draf usulan dari Pemerintah masih menunggu persetujuan DPR-RI untuk kemudian dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Kendati agenda usulan perubahan RUU Sisdiknas sudah bergaung sejak 2020, namun untuk bisa dibahas harus masuk daftar Prolegnas Prioritas di tahun berjalan. Selanjutnya DPR akan memutuskan apakah RUU dibahas di Badan Legislasi atau di Komisi X DPR yang membidangi pendidikan. Perubahan RUU Sisdiknas sarat kontroversi. Sorotan tak hanya dari elemen masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan, tapi DPR juga. Upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mau ambil jalan pintas pembahasan di Badan Legislasi ketimbang di Komisi X menuai kecaman dari kalangan DPR. Komisi X memandang manuver tadi bisa menimbulkan kegaduhan. Dari segi relevansi, RUU lebih cocok dibahas di Komisi X.

Paling mengemuka protes dan kritikan dari elemen masyarakat. Banyak kalangan pendidikan menyayangkan sikap Pemerintah terkesan tertutup dan mengabaikan masukan untuk menunda perubahan UU Sisdiknas, supaya fokus dulu pada pemulihan belajar paska pandemi. Ditambah sepanjang pembahasan terus memicu polemik. Sempat viral penghapusan frasa “madrasah” dari pasal RUU, utak-atik tunjangan guru dan sebagainya. Dari sejumlah isu tadi, sebagian dapat dijawab oleh Pemerintah. Isu tak kalah krusial proses penyusunan RUU. Lagi-lagi Pemerintah tak jera terjerembab di kubangan sama. Sewaktu Kemendikbudristek mengundang organisasi guru mengikuti Focus Group Discussion (FGD) tentang RUU Sisdiknas (22/8/2022), peserta sama sekali tak dibekali draf RUU dan Naskah Akademik (NA). Jadi hanya mendengar presentasi pihak Kemendikbudristek. Sudahlah begitu, peserta tak diperbolehkan memotret materi presentasi. Alasannya, penyusunan masih tahap perencanaan dan materi bisa berubah-ubah sehingga dokumen belum bisa dishare ke publik. Heran, kenapa Pemerintah tak ambil belajar (atau tak peduli?) dari kesalahan fatal macam penyusunan UU Cipta Kerja yang diputus inkonstitusi oleh Mahkamah Konstitusi (MK)? Dalam amar putusan MK menyebutkan salah satu penyebabnya dikarenakan penyusunannya tidak terbuka atau tidak partisipatif.

Prihatin

Selain paparan di atas, ada hal lain mengundang keprihatinan masa depan pendidikan sekaligus rumpun urusan provinsi. Pangkal perkara ketentuan dalam pasal 141 RUU Sisdiknas yang mengatur Perguruan Tinggi Negeri (PTN) harus berbadan hukum (PTN-BH) paling lama delapan tahun setelah RUU Sisdiknas disahkan. Konsekuensinya, semua PTN tak ada lagi berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker). Beleid barusan ditentang kalangan pendidikan. Bahkan ada asosiasi perguruan tinggi berencana akan menggelar aksi besar-besaran 27-29 September 2022. Dalam tuntutannya, asosiasi menolak RUU Sisdiknas karena dinilai sangat liberal dan berorientasi bisnis. Gugatan dirasa wajar. Program semisal jalur mandiri di PTN rawan diselewengkan. Buktinya kasatmata. Teranyar Rektor Universitas Lampung tersandung kasus korupsi. Jika PTN berbadan hukum, kampus disibukkan cari pemasukan dan khawatirnya lalai menegakan tri dharma perguruan tinggi. Cari pemasukan juga bukan mudah bagi kampus yang selama ini berstatus Satker dan BLU. Sebab PTN kebanyakan tak punya relasi ke dunia industri. Jalan pintasnya ya itu tadi: menggenjot pemasukan dari seleksi mahasiswa jalur mandiri. Disinilah ketakutannya. Biaya kuliah bakal meroket.

Dalam konteks kedaerahan, mahalnya biaya perguruan tinggi bukan pertanda baik. Mari meneroka keadaan. Diawali data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), bahwa dari sekitar 3,7 juta lulusan SMA/MA/SMK baru 1,8 juta diserap perguruan tinggi tiap tahun. Keterbatasan ekonomi faktor penghambat utama. Ketika biaya kuliah PTN kian ekslusif, maka makin banyak lulusan SMA/MA/SMK harus mengubur impian lanjut ke bangku perkuliahan. Perlu diingat, PTN masih favorit sebab sejak dulu stigma dari segi biaya lebih terjangkau. Walau dalam RUU tetap mewajibkan kampus menerima mahasiswa baru kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen, sekedar basa-basi. Berangkat dari kondisi, SMK berpotensi jadi pilihan rasional kala biaya kuliah mahal. Dapat skill dan kompetensi serta siap kerja. Alasan sama sebenarnya telah lama mendasari para lulusan SMP/sederajat memilih SMK: siap hadapi dunia kerja tanpa kuliah. Situasi runyam mengingat kesenjangan pendidikan belum teratasi sementara Indonesia mengalami bonus demografi. Kalau PTN mahal, pertanyaannya mampukah SMK mengemban misi hasilkan angkatan siap kerja dan mengurangi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)? Menurut data BPS tahun 2022, SMK masih menyumbang angka pengangguran terbanyak yakni 10,38% disusul lulusan SMA 8,35%.

Menyinggung kesiapan juga tak luput peran Pemda. Pemprov Riau masih berjuang menyiasati tingginya angka putus sekolah yang disebabkan kesenjangan dan keterbatasan daya tampung siswa tamatan SMP/sederajat ke SMA/sederajat. Pekanbaru berstatus ibukota saja, daya tampung peserta didik SMA/sederajat hanya sekitar 7 ribu. Sedang lulusan SMP/sederajat mencapai 20 ribu lebih. Artinya, ada sekitar 12 ribu calon siswa tak tertampung. Begitujuga belum adilnya perlakuan dalam dunia pendidikan, seperti terungkap saat agenda hearing Komisi V DPRD Riau dengan perwakilan guru SMA/SMK yang tergabung dalam Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) se Provinsi Riau di awal tahun 2022. Mereka mengeluhkan kesenjangan perlakuan antara sekolah negeri dan swasta. Terakhir, pengelolaan anggaran juga masih mengecewakan. Informasi Dinas Pendidikan Provinsi Riau mengatakan bahwa, jumlah anggaran belum sesuai kondisi dan kebutuhan. Misal, di SMK alokasi sedikit, anggarannya lebih. Di SMA, alokasi banyak tapi anggarannya kurang. Termasuk pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) tak jarang alami keterlambatan. Untuk tahun 2022, Disdik mengaku baru terima petunjuk teknis (Juknis) dari pusat di akhir Maret 2022. Padahal DAK sangat penting, terutama peralatan praktik SMK dengan kompetensi keahlian yang diprioritaskan dan bantuan sarana bagi sekolah yang belum punya peralatan pendidikan.

Berdasarkan pemaparan, tergambar dunia pendidikan ke depan penuh tanda tanya besar. Keinginan Pemerintah utak-atik RUU Sisdiknas sah-sah saja selagi substantif dan memenuhi tuntutan mencapai cita-cita pendidikan lebih baik. Akan tetapi kalau kontraproduktif buat apa. Kita berharap penyusunan RUU Sisdiknas dapat memperhatikan suara dan aspirasi berbagai elemen dan pemangku kepentingan di daerah. Paradigma negara mengelola pendidikan idealnya sama seperti investasi, jangan dianggap beban. Semakin banyak investasi banyak pula keuntungannya.

H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

SF Hariyanto Resmi Jabat Pj Gubernur Riau, Ini Respon Ketua Fraksi PKS DPRD Riau

Pekanbaru – Ketua Fraksi PKS DPRD Riau H. Markarius Anwar, ST, M.Arch mengucapkan selamat kepada …