Maksimalkan Perlindungan Pekerja

Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota DPRD Provinsi Riau, Fraksi PKS

Baru-baru ini Menteri Ketenagakerjaan buat keputusan heboh menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Lantaran diviralkan kebijakan “baru” JHT hanya bisa dicairkan saat memasuki usia pensiun atau 56 tahun atau peserta JHT meninggal dunia atau cacat total tetap. Berbeda dengan aturan sebelumnya, Permenaker 19/2015, JHT bisa langsung diberikan kepada peserta yang mengundurkan diri dan dibayarkan secara tunai setelah melewati masa tunggu satu bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan. Perubahan tadi menuai protes luas terutama dari kalangan para pekerja dan buruh se nasional, termasuk di Riau. Alasan Pemerintah cukup logis dan meyakinkan. Sejalan tujuan JHT yaitu melindungi peserta saat menginjak masa tua dan tidak lagi produktif. Jika dapat dicairkan saat usia produktif, maka program tak memenuhi tujuan perlindungan hari tua. Berdasarkan itu, JHT dipersiapkan untuk jangka panjang.

Untuk menenangkan kegelisahan para pekerja menghadapi situasi tak terduga atau kebutuhan jangka pendek seperti kecelakaan, cacat, meninggal dunia, terkena PHK dan seterusnya, Pemerintah memastikan semua ditanggulangi hak jaminan sosial dengan ketentuan khusus lain. Seperti program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang segera akan meluncur. JKP ditetapkan melalui Peraturan Presiden (PP) 37/2021 sebagai turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sepintas ajaib. Bukankah amar putusan MK telah menyatakan bahwa setiap kebijakan bersifat strategis dan berdampak luas serta penerbitan peraturan pelaksana UU Ciptaker harus ditangguhkan? Adapun PP merevisi UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang terbit di era Presiden Megawati Soekarnoputri. JKP ditambahkan ke dalam program jaminan sosial selain Jaminan Kesehatan, Kecelakaan Kerja, JHT, Pensiun dan Kematian. Tersebut tiga fasilitas utama JKP, yaitu uang tunai bagi pekerja diPHK selama 6 bulan, namun syaratnya batas besaran upah terakhir diterima pekerja sebesar Rp. 5 juta. Fasilitas kedua, akses informasi meliputi informasi lowongan kerja dan bimbingan atau konseling karir. Fasilitas ketiga pelatihan kerja berbentuk daring maupun luring melalui lembaga pelatihan kerja milik pemerintah, swasta, atau perusahaan.

Tidak Konsisten

Meski perubahan aturan JHT disertai program baru yang menggiurkan, gelombang protes tak surut. Jika dirunut, kesalahan di Pemerintah sendiri. Diawali menyoal inkonsistensi. Permenaker “baru” ternyata mengulangi cerita lama. Polemik soal JHT rupanya sudah pernah terjadi pada 2015 saat Menaker Hanif Dhakiri. Kala itu Pemerintah merilis PP No. 46/2015. Ketentuan juga mensyaratkan JHT hanya bisa diambil 30 % (semisal untuk membeli rumah) ketika sudah 10 tahun jadi peserta. Selebihnya baru bisa dicairkan saat peserta memasuki usia pensiun. Kelompok buruh protes. Pemerintah melunak. Saat itu Presiden Joko Widodo menginstruksikan dana JHT bagi pekerja yang terkena PHK dapat dicairkan dalam waktu satu bulan. Konsekuensi dari instruksi, PP JHT direvisi. Sikap mencla-mencle memperkeruh suasana. Sekarang perkara lama terulang kembali. Diperparah kurang baiknya komunikasi Pemerintah meyakinkan para pekerja dan sosialisasi perubahan kebijakan. Para pekerja sejumlah daerah yang  memenuhi persyaratan JHT mendatangi kantor BPJS Ketenagakerjaan. Mereka mencoba mencairkan dana segera sebelum Permenaker berlaku. Ada yang bawa dokumen lengkap untuk memproses pencairan dana JHT tapi berujung kecewa sebab tak tahu ada perubahan aturan pencairan. Bikin susah.

Secara konsep JKP sebenarnya bagus. Tapi wajar banyak ragu karena belum ada kejelasan realisasi di lapangan dan selama ini belum ada pembuktian bagi terkena PHK. Apalagi di tengah situasi pandemi, ancaman PHK masih menghantui pekerja seiring perekonomian belum pulih betul dan banyak sektor usaha kesulitan. Di sisi lain kinerja Pemerintah mengeksekusi program yang ada dan anggaran tersedia juga dipertanyakan. Mirisnya, sejumlah program berdampak signifikan memproteksi pekerja. Lihat saja realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2021, serapan hanya 88,4 persen. Alokasi klaster kementerian/lembaga (K/L) cuma teralisasi 51,61 persen. Padahal peruntukan dan manfaat anggaran melalui kementerian/lembaga sangat penting dan dirasakan langsung para pekerja serta membantu sektor usaha sekaligus meminimalisir PHK. Saat rapat bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI belum lama, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan mengakui alokasi ke beberapa Kementerian/Lembaga (K/L) tidak sukses eksekusinya.

Dalam kondisi serba tak pasti plus kinerja Pemerintah belum memuaskan, tak heran pekerja bergantung pada JHT. Selain beranggapan itu duit mereka, JHT opsi paling ready sewaktu-waktu berhenti kerja atau diPHK. Entah dipakai memulai usaha atau memenuhi kebutuhan mendesak lainnya. Kembali menyoal JKP, juga tak melindungi semua pekerja. Mengacu ke persyaratan, pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak bakal kesulitan mendapat manfaat dari program. Unsur patungan JKP juga berpotensi menuai masalah. Selain dari pekerja, pembayaran iuran juga oleh pemberi kerja/perusahaan. Kelalaian perusahaan bisa saja berakibat tak bisa diaksesnya manfaat JKP. Kemudian, guna mendapat manfaat JKP pekerja juga harus terdaftar di semua program jaminan sosial, mulai dari jaminan hari tua (JHT), kecelakaan kerja (JKK), jaminan pensiun (JP), jaminan kematian (JK), dan Jaminan Kesehatan. Berkaca dari sini, berharap JKP solusi jangka pendek tentu riskan. Kecuali prosedur dijamin bebas ribet. Jangan hanya investor dan pengusaha saja diberi karpet merah kemudahan berurusan.

Efek ke daerah

Berangkat dari pemaparan, perlu kiranya antisipasi supaya perubahan kebijakan tak berekses negatif. Implikasi akan terasa ke daerah, termasuk Riau. Terlebih menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, dari segi Ketenagakerjaan Provinsi Riau per Agustus 2021 status pekerjaan penduduk Riau didominasi buruh/karyawan/pegawai yaitu sebesar 40,28 persen. Apabila tak ditangani baik, sedikit banyak mengganggu kenyamanan mereka bekerja. Imbasnya bisa berdampak ke produktivitas kerja. Isu ini sangat sensitif. Menyoal hidup pekerja dan keluarga mereka dan kejelasan bagi perusahaan. Jangan sampai maksud baik Pemerintah dan asa memberi angin surga di masa tua pekerja lewat JKP mempertaruhkan nasib mereka dan keluarga dalam kemiskinan di usia produktif, sehubungan “tabungan kesejahteraan” mereka yaitu JHT belum bisa diakses penuh saat mereka butuh. Jika memang Pemerintah ingin mengembalikan JHT ke konsep awal maka Pemerintah harus all out memberi pelindungan jangka pendek bagi para pekerja. Dibuktikan melalui upaya atau program yang  eksis dulu. Bukan gemar rilis program baru tapi hasilnya sebelas duabelas.

Perlindungan pekerja pun harus sistematis. Setiap orang berhak dapat perlindungan dan jaminan sosial dari negara tanpa terkecuali, sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 28 H ayat (3). Regulasi mendukung perluasan kepesertaan jaminan sosial. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan menugaskan ke Menteri Dalam Negeri mendorong Gubernur dan Bupati/Walikota agar mengoptimalkan jangkauan peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Pemerintah pusat hingga Pemerintah Daerah (Pemda) mesti bersinergi jalankan misi. Teristimewa Pemda , dari segi otoritas punya instrumen kebijakan dan diskresi merancang program. Rumpun urusan wajib daerah juga menugaskan Pemda mengelola bidang ketenagakerjaan. Berangkat dari kewenangan, secara fiskal, APBD dapat dipakai mengakomodir berbagai pendekatan strategis melindungi pekerja. Misal pengembangan usaha, fasilitas produktivitas pekerja, peningkatan kesejahteraan melalui nonupah dan pendekatan lain. Sebagai contoh perlu diapresiasi kepedulian Pemprov Riau menggandeng Bank Riau Kepri (BRK) terhadap para pekerja rentan di Provinsi Riau. Secara tidak langsung Pemprov membantu mengurangi tingkat kemiskinan Provinsi Riau kalau terjadi risiko sosial dialami para pekerja tersebut. Pendekatan tadi perlu dipertahankan dan dimasifkan. Melindungi pekerja pada dasarnya investasi bukan buang duit. Pekerja seumpama “motor” yang menggerakkan perekonomian daerah. Sementara daerah penentu perekonomian bangsa. Layaknya motor, ketika tak dirawat baik-baik akan timbul kerugian besar.

 

Baca Juga

SF Hariyanto Resmi Jabat Pj Gubernur Riau, Ini Respon Ketua Fraksi PKS DPRD Riau

Pekanbaru – Ketua Fraksi PKS DPRD Riau H. Markarius Anwar, ST, M.Arch mengucapkan selamat kepada …