KEBIJAKAN TEROR HONORER

H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau

Polemik kembali menghantui honorer. Teranyar soal penghapusan tenaga honorer sebagai konsekuensi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dalam beleid disebutkan bahwa pegawai non-PNS di instansi pemerintah masih tetap melaksanakan tugas paling lama lima tahun selama peraturan tersebut berlaku. Juga disebutkan, setelah honorer dihapus status pegawai pemerintah nantinya ada dua: yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kabarnya penghapusan tenaga kerja honorer berlaku akhir tahun 2023. Kebijakan tertuang dalam surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) No. B/185/M.SM.02.03/2022, perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan dimaksud juga telah melalui kesepakatan bersama dengan DPR-RI (7 Komisi Gabungan yaitu Komisi I, II, III, VIII, IX, X, dan XI). Penghapusan honorer wajar memicu pro dan kontra. Di awal sempat muncul wacana tiga solusi ditawarkan Pemerintah, yaitu pengangkatan CPNS, pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) atau outsourcing. Di mata Pemerintah Daerah (Pemda), opsi paling aman rekrutmen CPNS. Adapun sisanya direspon negatif. Terlebih pengalihan non-ASN ke outsourcing. Dampaknya sangat besar baik ke honorer maupun Pemda. Gaji Honorer berpotensi terpotong. Ujungnya honorer malah tidak sejahtera. Outsourcing juga bikin Pemda keluar anggaran lebih besar. Sebab, mekanisme pengadaan harus lewat tender.

Kami di Komisi 5 DPRD Riau memandang sederhana. Jangan sampai ujungnya tak sesuai harapan. Terutama pengalihan ke PPPK. Dalih Pemerintah memang memberi “angin surga”, bahwa PPPK lebih punya kepastian dibanding status honorer dari segi gaji bulanan, kepastian fasilitas dan jaminan sosial. Tapi itu semua menunggu pembuktian. Semoga kehidupan mereka benar-benar lebih baik ke depannya. Karena ini bukan semata menyoal pencaharian warga negara. Tapi problemnya cukup kompleks dan berdampak masif. Langkah Pemerintah turut menentukan penilaian seberapa konsisten terhadap isu-isu tenaga kerja. Bagi kalangan swasta boleh jadi akan dijadikan bahan pembelajaran. Tentu absurd rasanyaberkoar-koar menagihperlakuan lebih baik pihak swasta kepada para pekerja sementara kebijakan Pemerintah terkait honorer malah kontraproduktif. Sejauh ini pengalihan ke PPPK sudah cukup meneror kehidupan para honorer selama bertahun-tahun. Sudahlah honor kebanyakan masih di bawah upah minimum, ditambah terombang-ambing dalam ketidakkepastian. Menanti untuk diterima sebagai PPPK lebih lagi asa diterima sebagai PNS.

Ketidakadilan

Keadilan dan kesejahteraan kata kuncinya. Disinilah pertaruhan terbesar Pemerintah. Eksekusi kebijakan berdampak masif jangan seakan tanpa beban. Penghapusan honorer harus melalui kajian komprehensif dan matang. Dimulai bicara keadilan, tanpa bermaksud mengenyampingkan honorer lain, nasib guru dan tenaga kesehatan diantaranya patut diperjuangkan. Teruntuk guru, Mendikbud Nadiem Makarim pernah menerima hujan gugatan perihal seleksi 1,3 juta pegawai honorer menjadi PPPK di tahun 2021. Kemendikbud disebut tak adil dan diminta memperbaiki sistem seleksi karena menimbulkan kecemburuan dan ketidakadilan bagi honorer K2. Kuota Kemendikbud jauh melebihi tenaga honorer K2 (tenaga pendidik, tenaga medis dan tenaga teknis). Ketidakadilan dipicu diperbolehkannya honorer baru ikut seleksi PPPK hingga perkara tes yang dinilai tidak fair karena menonjolkan kompetensi kognitif. Lulusan baru (fresh graduate) yang diangkat sebagai honorer diadu dengan tenaga pendidik yang sudah lama mengabdi. Padahal dari segi usia fresh graduate punya lebih banyak kesempatan dan peluang seleksi CPNS. Lebih baik beri kuota khusus bagi honorer K2 yang sudah mengabdi lama, berpengalaman mengajar bagi guru atau terbukti punya rekam jejak kinerja di bidang masing-masing. Kuota bisa 30-40 persen supaya peluang diterima semakin besar.

Membahas peluang, situasi bertambah pelik menyimak kondisi terkini. Kemendikbudristek menyatakan bahwa dari guru lulus Passing Grade (PG) PPPK 2021 tidak semua bisa terakomodir. Nasib guru lulus PG PPPK 2021 yang tidak pasti tersebar di 303 Pemda dari total 506 Pemda. Mengutip pernyataan Dirjen Guru Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbudristek saat sosialisasi PermenPAN-RB Nomor 20 Tahun 2022 tentang Pengadaan PPPK Guru di Instansi Daerah tahun 2022 belum lama ini, sekitar 60 persen Pemda tidak memiliki formasi yang cukup menampung guru lulus PG PPPK 2021. Terdapat juga daerah masuk kategori sangat tidak aman sebanyak 181 daerah (36 persen). Daerah tersebut sisa formasinya jauh lebih kecil dibandingkan guru yang sudah lulus PG. Melihat banyaknya guru lulus PG dalam kondisi tidak aman karena formasi di daerahnya sedikit, maka Pemda memainkan peran penting menyelamatkan nasib para guru tadi. Tentunya dengan mengajukan usulan semaksimal mungkin. Terakomodasi atau tidak para guru lulus PG PPPK 2021 sangat tergantung pada sejauhmana keseriusan Pemda memenuhi persyaratan dalam rangka pengajuan usulan formasi. Toh anggaran sudah disiapkan pusat.

Dalam tataran praktis tuntutan mengakomodir mereka bukan lagi keinginan tapi emergency. Mengingat terdapat kekurangan 1.312.759 guru ASN di sekolah negeri sampai 2024. Darurat kekurangan guru ASN di sekolah negeri menanti di depan mata. Maka, memaksimalkan formasi guru PPPK jalan keluar atas darurat kekurangan guru nasional meski sifatnya cuman jangka pendek. Di daerah, terutama lingkup Provinsi Riau, Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar sudah mengeluarkan pernyataan untuk menindaklanjuti hal ini. Upaya pemetaan dan inventarisir melalui BKD (Badan Kepegawaian Daerah) terhadap tenaga honorer harus dilaksanakan sesegera dan seakurat mungkin. Mesti diakui, bicara database organisasi pemerintah masalahnya selalu klasik: lemah dan jauh dari kata akurat. Berdasarkan itu, upaya harus digelar secara cermat dan terukur, kolaboratif, sistematis serta transparan. Termasuk membuka masukan atau sanggahan untuk mencegah ada tenaga honorer yang dinilai layak dan pantas tapi belum diakomodir.

Komitmen Bersama

Disamping keadilan, mengenai kelanjutan nasib tenaga honorer yang sudah lama mengabdi, Pemerintah perlu menyiapkan strategi mumpuni mengantisipasi dampak terburuk paska kebijakan penghapusan honorer. Karena ending kebijakan lagi-lagi penuh misteri. Seperti telah disinggung sebelumnya, bakal ada tenaga honorer tak tertampung. Nah, ini memicu problem baru. Badan Pusat Statistik (BPS) pernah menyatakan bahwa Pemerintah salah satu penentu tingkat pengangguran. Ketika tak ada lowongan CPNS, berarti Pemerintah ikut menyumbang angka pengangguran. Menurut BPS, penyerapan tenaga kerja di sektor administrasi pemerintahan turun sebanyak 30 ribu dikarenakan di periode awal tahun ini belum ada penerimaan PNS. Bila nanti ditambah tenaga honorer yang ditiadakan di instansi Pemerintah, jelas akan ada penambahan angka pengangguran. Ironi lainnya dibalik kebijakan penghapusan honorer yakni demi penyederhanaan birokrasi dan penghematan anggaran negara, harusnya dimulai dari elit dulu entah perampingan struktur kabinet dan rasionalisasi belanja di kementerian. Kalau penghapusan honorer justru melahirkan pengangguran. Ini membuat anggaran seperti Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dibelanjakan Pemerintah ratusan triliun selama pandemi berujung sia-sia. Begitujuga langkah pemerintah menekan PHK selama pandemi juga dipertanyakan. Terakhir, situasi dihadapi para tenaga honorer wajib mendapat perhatian bersama mulai Pemerintah Pusat hingga Pemda. Kami sangat menyayangkan komentar Kepala Staf Kepresidenan seolah tanggungjawab tenaga honorer terpulang ke daerah, sembari menyalahkan kepala daerah yang umbar janji manis akan memperjuangkan nasib honorer dalam kampanye Pilkada. Padahal kalau diulas ke belakang, komitmen sama juga pernah disampaikan Presiden Jokowi saat maju pertama kali di Pemilu. Bahkan menurut Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I), dinyatakan secara tertulis dalam kontrak politik salah satunya berupa Piagam Ki Hajar Dewantara di Pemilu 2014, walau di Pemilu 2019 komitmen itu tak lagi disinggung oleh Jokowi-Ma’ruf dalam sesi debat Capres-Cawapres. Selama pemerintahan Jokowi pula berulang kali honorer K2 menggelar aksi. Paling menyesakkan dada, mereka sampai tidur di depan Istana Negara. Sayang aksi tidak disambut dan ditemui oleh Presiden Jokowi. Padahal mereka sesungguhnya bukan dalam posisi mengemis. Tetapi hanya meminta hak dan perlakuan yang sudah sepantasnya diberikan dan dilindungi oleh Negara atas pengabdian dan dedikasi serta kinerja selama ini.

Baca Juga

ANCAMAN BONUS DEMOGRAFI

Baru-baru ini warganet dibikin heboh. Pemicunya syarat lowongan kerja PT Kereta Api Indonesia Persero (KAI). …