ISRA’ MI’RAJ DAN SPIRIT PERUBAHAN

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM

 “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kekuasaan) kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Isra: 1)

Seperti peristiwa penting dalam sejarah dunia, Isra’ Mi’raj mengandung banyak pelajaran. Bekal berharga bagi generasi yang mau membaca dan menyerap intisari dibaliknya. Apalagi kisah Isra’ Mi’raj begitu menakjubkan. Menawarkan begitu banyak ibrah yang relevan dengan perkembangan zaman. Tidak semata pelajaran spiritual, tetapi juga aspek kehidupan dunia. Sebagaimana firman Allah SWT: “Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111). Pengunaan kata “akal” pada ayat barusan menarik untuk diangkat. Sebab Isra’ Mi’raj menantang manusia memakai akal dan mendorong kita berpikir terbuka.

Sebagaimana dikisahkan, ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikan kisah perjalanan dari Masjid al-Haram di Mekkah ke Masjid al-Aqsha di al-Quds di Palestina dalam satu malam, kebanyakan penduduk Mekkah masa itu meragukan. Bahkan tak sedikit menertawakan terutama Abu Jahal beserta pengikutnya. Menurut mereka, cerita Nabi tidak masuk akal. Apalagi perjalanan Nabi dilakukan secara utuh (jasad beserta ruh). Sekarang, seiring perkembangan teknologi dan kemajuan transportasi, kita bisa menempuh perjalanan jauh dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu relatif singkat. Jadi kalau dulu Nabi ditertawakan, kini justru orang yang meragukan perjalanan Nabi akan ditertawakan. Di sini sudah tampak mukjizat Isra’ Mi’raj.

Akal memang selalu dijadikan alat hujjah atas semua kejadian. Sayangnya seringkali dipakai secara arogan, keliru dan angkuh. Sebagian sampai ke tahap “menuhankan” akal. Islam tak pernah menegasikan peran akal. Banyak surah dan ayat al Qur’an menekankan pentingnya menggunakan akal. Tetapi Islam lebih mengedepankan aspek keimanan yang bersumber dari dalil yang valid bebas dari rekaan dan karangan. Bicara keimanan bukan berarti tak boleh dirasionalisasi. Tapi otak manusia punya keterbatasan dan tak mampu mencerna semua hal. Acapkali saat dihadapkan pada suatu fenomena di luar jangkauan pikiran, kita menyebut hal tersebut mustahil. Padahal akal kita saja yang belum bisa mencerna. Kembali ke perjalanan Isra’ Mi’raj nabi Muhammad SAW misalnya yang dulu pernah disangsikan.

Transformatif

Muatan paling bernilai perjalanan Isra’ Mi’raj nabi Muhammad SAW tentunya aspek spiritual. Kekuatan iman pembentuk jiwa dan karakter. Tak mudah meyakinkan orang-orang di masa itu. Termasuk kalangan pemeluk Islam. Meski Nabi bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan orang-orang untuk membuktikan kebenaran Isra’ Mi’raj, tetap saja beliau di-bully. Umat Islam yang percaya pun ikut tertekan. Meski begitu, mereka keukeuh. Abu Bakar orang pertama yang menerima kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj tanpa banyak pikir. Beliau bukan taklid. Ia tahu Nabi tak pernah berbohong. Semua yang menyangkal termasuk Abu Jahal juga sangat mahfum sifat Nabi. Toh mereka menyematkan gelar al-Amin ke Nabi.

Kendati paham betul resiko yang timbul, Nabi tetap menyampaikan kebenaran Isra’ Mi’raj. Inilah buah keimanan. Jika seorang tertancam keimanan dalam diri, kebenaran dan kebaikan bukan untuk disimpan tapi disebarluaskan. Supaya semua memperoleh keberkahan dan petunjuk. Keimanan memunculkan keberanian membela yang benar, meluruskan yang salah dan mendorong perubahan ke arah lebih baik. Jadi bila ada mengaku beriman kepada Tuhan tapi malah membela kemungkaran dan kezaliman, jelas sesat. Prinsip ini berlaku ke semua pemeluk agama. Sebab semua agama mengajarkan nilai universal. Terlebih umat muslim, amar makruf nahi munkar indikator utama seseorang yang ditinggikan derajatnya. Islam tidak mengenal netralitas. Ingat cerita Nabi diberi pilihan antara air susu dan khamr saat Isra’ Mi’raj. Nabi memilih susu. Kemudian Malaikat Jibril as berkata, “Engkau telah diberi hadiah kesucian.” Pilihan tadi secara simbolik merupakan keharusan memilih yang terbaik dalam hidup.

Akhir tulisan, di momen ini mari merefleksi diri. Sudahkah kita meng-isra’-kan dan me-mi’raj-kan pribadi dan keluarga, serta berupaya sekuat tenaga memberi pengaruh positif ke lingkungan sekitar? Iman ibarat lilin. Pastikan terus menyala agar bisa menerangi sekeliling. Walau terkadang iman meredup, jaga jangan sampai padam. Karena jika padam, kegelapan yang berkuasa. Begitupula halnya kehidupan. Kebatilan akan merajalela apabila orang yang mengetahui kebenaran memilih diam. Itulah kenapa ajaran Islam sangat komprehensif. Bukan semata menekankan ritual tetapi juga dampak faktual. Seorang muslim dikatakan saleh tatkala memberi manfaat ke lingkungan. Sebagaimana firman Allah SWT “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam” (al-Anbiya’: 107). Setiap ibadah dalam Islam adalah sarana perubahan. Seiring keberhasilan transformasi melalui ibadah, terbangun keseimbangan jasmani dan rohani, fisik dan psikis, kedisiplinan, hidup bersih dan sehat dan terbentuk integritas. Sifat transformatif tentu tak berhenti di diri sendiri. Shalat dan ibadah haruslah mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS al-‘Ankabut: 45) yang tertuju ke diri sendiri dan lingkungan. Singkatnya membuahkan kebaikan ke individu, serta kemanfaatan dan kemaslahatan sosial.

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM
ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

MENJADI GENERASI PEMBEDA

Selain bulan penuh kebaikan dan keberkahan, Ramadhan bulan diturunkannya Al-Quran. Peristiwa ini kita kenal Nuzululqur’an. …