“BARANG MEWAH” BERNAMA KULIAH

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.  
ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Kenaikan biaya kuliah menyita perhatian. Gelombang protes mahasiswa mewarnai berbagai perguruan tinggi. Sejumlah pihak menuding peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menentapkan kriteria baru guna menentukan besaran UKT. Teranyar demonstrasi ratusan mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Jawa Tengah. Dalam orasi di Gedung Rektorat, mahasiswa menolak kenaikan UKT berkali-kali lipat. Perwakilan mahasiswa mencontohkan satu Program Studi naik hampir 5 kali lipat dibanding 2023. Rentang waktu bersamaan, Universitas Indonesia (UI) juga mendapat sorotan tajam imbas viral pernyataan calon mahasiswanya, bahwa Uang Pangkal Strata 1 (S1) regular jalur SIMAK dan PPKB mencapai ratusan juta.

Beberapa tahun belakangan aksi serupa cukup marak. Baik itu yang memprotes UKT atau Uang Pangkal. Terutama di perguruan tinggi unggulan kayak Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Naiknya pembiayaan kuliah di perguruan tinggi mengundang kontroversi. Bertambahnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang beralih status badan hukum (PTN-BH) semakin membuat asa berkuliah di PTN pupus seiring biaya tidak ”ramah”. Apalagi masyarakat Indonesia mayoritas kelompok ekonomi menengah ke bawah. Konteks kedaerahan, kita bersyukur dan berharap semoga PTN di Riau lebih bijaksana. Dari informasi diperoleh, biaya kuliah di Universitas Riau (UR) misalnya, tahun 2023 UKT tertinggi Rp 23,4 juta untuk prodi Kedokteran dan terendah Rp 500 ribu untuk prodi lain. Berkaitan Iuran Pengembangan Institusi (IPI), kebijakan IPI seperti penetapan tarif mesti mempertimbangkan prinsip kewajaran, proporsional dan berkeadilan; Memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua mahasiswa atau pihak lain yang membiayai mahasiswa.

Ironis

Kembali ke gugatan mahasiswa, sungguh pemandangan ironis sekaligus paradoks. Terlebih demonstrasi bertepatan momen Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Jika pendahulu bangsa mempertaruhkan harta, jabatan hingga nyawa berjuang mewujudkan akses pendidikan bagi seluruh kaum, khususnya pribumi yang dikucilkan, sekarang setelah merdeka pendidikan serasa barang mewah. Negeri dilimpahi kekayaan alam atas dan bawah, tapi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kalah dibandingkan negara tetangga. Di awal tahun, Presiden Jokowi kaget mendengar rasio jumlah lulusan S2 dan S3 Indonesia terhadap penduduk produktif dibawah Malaysia dan Vietnam. “Saya kaget Indonesia di angka 0,45 persen. Negara tetangga kita, Vietnam dan Malaysia, sudah di angka 2,43 persen. Negara maju 9,8 persen. Jauh sekali,” kata Jokowi saat pembukaan Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan Forum Rektor Indonesia di Surabaya (15/1/2024). Pertanyaannya, bagaimana mau melejitkan rasio jumlah lulusan S2 dan S3, mau S1 saja mahal? Padahal Indonesia butuh SDM unggul menghadapi kompetisi global. Presiden berkata akan mengumpulkan menteri terkait dan membahas secara khusus, berikut menggelontorkan anggaran dan intervensi lainnya. Akan tetapi, menyaksikan demonstrasi mahasiswa akibat biaya kuliah yang meroket, tindak lanjut kagetnya Presiden dipertanyakan.

Kendati ada mekanisme peninjauan biaya kuliah agar memperoleh keringanan sesuai kemampuan ekonomi, kebanyakan yang mengajukan tak membuahkan hasil atau prosesnya lama dan dibikin ribet. Terdesak keadaan akhirnya menempuh jalan singkat. Semisal gadai barang berharga bahkan andalkan Pinjaman Online (Pinjol). Lebih parah lagi ada perguruan tinggi malah bekerjasama dengan Pinjol. Di sisi orangtua, semua pasti ingin anaknya sampai perguruan tinggi. Namun sebagian besar gayung tak bersambut. Belum lagi menyoal inflasi biaya pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, Indeks Harga Konsumen (IHK) kelompok pendidikan di Indonesia secara angka memang naik, tetapi tidak signifikan. Adapun pendapatan rata-rata masyarakat orangtua tidak banyak bertambah. Salah satu barometer UMK dan UMR. Sedangkan harga kebutuhan pokok dan pajak beranjak naik, subsidi energi berkurang dan seterusnya. Semua bakal menekan kemampuan finansial para orangtua. Bicara subsidi pendidikan pun belum maksimal. Biaya pendidikan yang ditanggung Pemerintah 9 tahun, yaitu Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selanjutnya belum merata dan ditanggung sendiri. Padahal jenjang SMA dan perguruan tinggi lebih mahal. Dalam keadaan serba terjepit, kalangan ekonomi menengah ke bawah tak punya pilihan. Oleh karena itu, perlu respon segera. Kalau abai, dampaknya fatal.

Investasi

Negara dituntut serius. Urgensi pendidikan harus diprioritaskan. Sayang yang terjadi justru sebaliknya. Betapa banyak proyek menyita anggaran jumlah besar terus dipaksakan. Itupun pemasukan ke negara tidak sepadan. Sementara pendidikan investasi konkrit dan menguntungkan. Kami selaku Komisi V DPRD Provinsi Riau membidangi pendidikan meminta PTN di Riau tidak ikut-ikutan memandang status PTN-BH celah menggali uang dari mahasiswa. PTN-BH seharusnya peluang memanfaatkan otonomi yang dimiliki kampus, mengelola modal intelektual menjadi sumber ekonomi. Apa manfaatnya diberi status PTN-BH tapi hanya menyasar dari masyarakat? Kemudian, dalih menaikkan biaya kuliah karena kekurangan anggaran juga dinilai tidak relevan. Sebab, pendidikan semestinya menjadi tanggung jawab Negara dan manajerial PTN. Jangan dibebankan sepenuhnya ke para mahasiswa dan orangtua.

Mengenai intervensi negara, asal ada kemauan tersaji jalan. Pemerintah Pusat sedang mencari model kredit yang ramah bagi mahasiswa tidak mampu. Hanya saja hingga kini belum ditemukan bentuk dan mekanisme ideal. Sepantasnya malu mengapa rezim lama bisa menawarkan solusi? Sebenarnya di masa Orde Baru sudah dikenal Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Kredit tersebut dicairkan saat mahasiswa menyelesaikan tugas akhir dan harus dikembalikan setelah lulus. Sebagai jaminan, ijazah sarjana ditahan. KMI merupakan sistem kredit pendidikan bersubsidi. Skema KMI diterapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam bentuk kredit likuiditas bersubsidi ke Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. BNI berperan menyediakan pinjaman pendidikan. Singkat cerita, KMI muncul guna mendorong mahasiswa lebih cepat lulus. Semasa itu mahasiswa lulus termasuk lama, 8-9 tahun atau lebih. Sebab waktu menyelesaikan skripsi dipakai mencari kerja demi menyiapkan dana kelulusan. Konsep KMI bagus ditiru. Tentunya dilakukan modifikasi dan penyesuaian terhadap permasalahan kekinian.

Selain itu negara juga dapat memberdayakan bank-bank BUMN dan badan usaha negara lainnya untuk membantu menyiasati problem biaya kuliah. Begitupula seterusnya langkah di tingkat daerah. Diawali peran bank BUMD. Apalagi Riau memiliki Bank Riau Kepri Syariah. Diharapkan ekonomi syariah yang berorientasi memberi solusi dan menghadirkan kemaslahatan dapat memfasilitasi kemudahan kredit bagi yang menjalani pendidikan. Selain itu bisa juga disinergikan dana Corporate Social Responsible (CSR) BUMD dan APBD untuk menampung lebih banyak penerima bantuan pendidikan dan beasiswa prestasi. Bukan malah mengurangi alokasi beasiswa. Di luar itu, Pemerintah Provinsi Riau bisa mengonsolidasikan modal sosial yang sudah eksis di tengah masyarakat. Semisal pemberdayaan Badan Amil Zakat mulai dibawah naungan Pemerintah seperti Baznas dan aksi kolaborasi lembaga amil zakat yang dikelola kelompok masyarakat. Sekedar contoh, program Baznas membantu pembayaran UKT dan bantuan skripsi yang disalurkan mahasiswa Perguruan Tinggi di Riau. Upaya kolektif tadi ikhtiar menghantarkan bangsa ini ke kondisi lebih baik.

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM.  
ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU

Baca Juga

MENGENTASKAN KETIMPANGAN PENDIDIKAN

Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia (Hardiknas). Perisitiwa istimewa dalam catatan sejarah …