Kembalikan Pahlawan Yang Hilang

Heroik dan penuh pengorbanan. Itulah pahlawan yang sering kita jumpai dalam layar lebar. Spiderman, Superman, Batman, Thor, dan tak ketinggalan Gundala dan Bima-x pahlawan dari Indonesia. Mereka melakukan sesuatu dengan penuh pengorbanan. Keheroikan mereka menyita perhatian banyak orang. Menyelamatkan nyawa, menolong manusia yang kesulitan dan terancam, serta masih banyak lagi aksi penyelamatan lainnya. Dalam adegan tersebut, para pahlawan super ini biasanya muncul pada saat yang tepat, dan bertarung dengan penuh totalitas. Itulah gambaran pahlawan yang kita perhatikan dalam serial superhero.

Bangsa Indonesia pernah memiliki sosok pahlawan yang tak kalah heroiknya jika di bandingkan dengan sosok-sosok super fiksi di atas. Sejarah bangsa Indonesia cukup menjadi bukti betapa heroiknya para pahlawan kemerdekaannya. Sebut saja Jenderal Sudirman, yang sampai hari ini masih terkenang pengorbanan dan keberaniannya. Memimpin perang dalam keadaan sakit, bukan halangan baginya. Totalitas menjadi harga mati baginya. Sehingga ia mendapat penghargaan yang begitu tinggi dari masyarakat Indonesia. Sosok Cut Nyak Dien pun tak kalah heroik. Tak terhitung penjajah mencoba mengakhiri perlawanannya selalu menemukan jalan buntu. Meski pada akhirnya berakhir dengan deraian air mata, namun jiwanya menyemburkan keteladanan. Para pahlawan yang berjuang tanpa pamrih, kecuali mengharapkan kemerdekaan dan kemenangan bangsanya.

Kenegarawanan Ir. Soekarno begitu mengagumkan, sebagai founding father yang tiada lekang oleh zaman. Ia sosok yang selalu total dalam melaksanakan tugasnya sebagai kepala negara. Penjara, pengasingan, penculikan, merupakan santapan yang tidak asing lagi baginya. Ia memimpin bangsa Indonesia keluar dari ketertindasan penjajahan. Baik penjajahan kolonial, kemanusiaan, pemberontakan, sampai penjajahan moral. ia menempatkan dirinya sebagai sosok negarawan sejati yang belum tergantikan sepeninggalnya. Hatta, M. Natsir, Adam Melik, dan tokoh-tokoh nasional lain pun, memberikan keteladanan yang begitu tinggi. Kemudian sebuah pertanyaan muncul, bagaimana dengan hari ini? adakah sosok-sosok pahlawan seperti mereka?

Hari ini, kita dihadapkan pada kenyataan yang tidak terbantahkan. Indonesia, seakan kehilangan sosok-sosok pahlawan yang benar-benar tulus memperjuangkan negaranya. Banyak yang tampil sebagai pahlawan, namun ternyata tak sepenuhnya menjadi pahlawan. Banyak yang berjanji memperjuangkan kepentingan rakyatya dengan mengatasnamakan perjuangan, namun ternyata harapan itu hanya fatamorgana. Pahlawan-pahlawan itu tak ubahnya hanya sebuah kamuflase untuk mencapai kepentingan dirinya, bukan tulus memperjuangkan kepentingan orang banyak. Sebagaimana jati diri seorang pahlawan. Sejatinya ia telah pergi dari diri mereka yang menyebut dirinya dengan pahlawan.

Bukti hilangnya kenegarawanan dan kepahlawanan adalah maraknya praktek korupsi. Tindakan ini telah menindas rakyat dan mematikan manusianya. Hukum yang kian tumpul ke atas, namun semakin tajam ke bawah. Fenomena seperti ini bukan lagi hal yang asing di negeri ini. berapa banyak kasus korupsi yang terungkap, namun melenggang begitu saja tanpa adanya kejelasan. Perjual-belian hukum terasa biasa. Penggadaian harga diri menjadi budaya yang tiada termaafkan. Sifat kepemimpinan berujung pada retorika politik dan pencitraan. Siapa yang memiliki media, maka ia memiliki bangsa ini. kepentingan saling timpang tindih, antara ambisi, asing dan aseng. Pelemahan penegakan hukum semakin kacau. Kenegarawanan seolah lenyap dari negeri yang bernama Indonesia. Jika krisis kenegarawanan ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin “penjajah” kembali mengobrak-abrik kedaulatan. Dimanakah pahlawan yang sering tampil di depan layar kaca itu?

Generasi yang diharapkan menjadi harapan pun tak kalah muramnya. Terjun bebasnya budaya barat mengambil alih kesopan-santunan. Pengaruh globalisasi seakan “memakan” lahap ketimuran kita. Ia menggerogoti jati diri para pemuda yang pernah menyatakan jati dirinya dalam sumpah pemuda. Narkotika, hedonisme, individualis, matrealistis, seolah menjadi gaya hidup kekinian. Kita bisa lihat berapa presentase pengguna narkoba dari kalangan pelajar. Rasa malu tak lagi menjadi tameng. Kejujuran dipertanyakan.tak cukup sampai disini saja, free sex seolah menjadi tradisi “wajib” di kalangan remaja. Kemudian muncul pertanyaan lagi, akankah pahlawan heroik dan penuh totalitas itu terlahir dari generasi yang kacau? Jika kondisinya seperti ini, kepada siapa lagi harus berharap? Padahal Indonesia mendapatkan bonus demografi yang menjanjikan. Usia produktif begitu dominan sampai 30 tahun ke depan. Jika keteladanan tercerabut, bukan tidak mungkin kerugian mendera bangsa karena gagal memanfaatkan bonus demografi ini. sebab setelahnya, usia tidak produktif akan lebih dominan. Lalu siapakah yang bertanggung jawab?

Tidak ada yang perlu diratapi atau disesali dengan kondisi ini. karena krisis moral dan kenegarawan ini menjadi tanggung jawab bersama. Tentunya tak akan selesai jika terus menyalahkan satu pihak. Setidaknya ada 3 wadah yang bertanggung jawab atas pembenahan ini. Yaitu pembenahan pembenahan dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pemerintahan. Setiap kita memiliki tanggung jawab memberikan keteladan. Teladan ini menjadi aspek yang wajib. Mengingat kaidah foundamental bangsa Indonesia, menjadikan generasi muda sebagai generasi yang berketuhanan. Tentunya dengan makna ketuhanan yang sesungguhnya. Bukan wacana dan aku-akuan saja. Sebagai proses mengembalikan pahlawan Indonesia yang sempat hilang. (*

Rahmat Dianto

Baca Juga

Ramadhan Bulan Produktif

Pekanbaru – Bulan mulia kembali hadir ke tengah kita. Sebuah anugerah luar biasa bagi umat …